Banyubiru
Kamis, 27 Agustus 2020
Rabu, 09 Januari 2019
Selasa, 23 Februari 2016
Belajar Melalui Alam Semesta
Sarvatah: Belajar Melalui Alam Semesta
".... Sarvasya bhayagato guruh"
[Canakya Nitisastra V.1]
" ...Seluruh alam semesta adalah guru
bagi semua".
Sarvatah adalah memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara berguru pada keberadaan alam semesta atau semua yang ada di alam semesta. Di setiap personal-personal isi alam semesta baik secara sekala maupun niskala, dalam pandangan Hindu adalah sosok-sosok yang tidak dapat dipisahkan dari keesaan Tuhan. Alam semesta memiliki tangan untuk memberi dan mengambil, memiliki kaki untuk melangkah, memiliki mata untuk melihat, memiliki pikiran untuk berpikir, memiliki mulut untuk menyampaikan sesuatu, memiliki telinga untuk mendengarkan ucapan kita. Dengan kata lain, alam semesta sejatinya adalah wujud terkongkrit dari eksistensi Tuhan. Alam sebagai guru bertutur sangat
terang, semuanya berubah, kalaupun diperdebatkan semuanya membawa
kelebihan dan kekurangan. Siang diganti malam, malam diganti siang. Bila gunung
tinggi tentu jurangnya akan dalam. Dan jika kita sadari secara mendalam pesan
yang dibawa oleh alam, sebenarnya kita telah menemukan guru besar dalam hidup.
Alam Semesta adalah Wujud Kongkrit Keberadaan Tuhan |
Tahapan memasuki pintu pengetahuan sebenarnya sederhana, pertama-pertama kita hendaknya belajar dari alam, kemudian hidup sesuai dengan prinsip-prinsip alam. Sebagai hasilnya manusia bisa melihat pengetahuan yang indah di balik alam. Sebelum menemukan pengetahuan dari alam, maka manusia akan terus berputar kebingungan dari satu penderitaan kependeritaan lain. Ia yang berguru pada alam semesta ini tahu bahwa sesungguhnya tidaklah benar bahwa alam sedang menghukum, apa yang biasa terlihat sebagai bencana pada prinsipnya adalah semacam
Banyak
pelajaran yang terus menerus ditawarkan oleh alam semesta kepada setiap insan
manusia. Hendaknya kita sadar, bahwa alam semesta sering menyampaikan
penerangan dan cahayanya melalui berbagai cara. Baik melalui bencana alam,
keanekaragaman, keindahan dan lain sebagainya yang sering
terlupakan oleh manusia. Oleh karena itu jika dipandang secara duniawi, jalan ini memang akan terlihat berbeda secara personal, namun secara
kebijaksanaan spiritual atau dengan kesadaran spiritual yang universal, kelima
jalan ini adalah guru-guru suci dan mulia yang memiliki hakikat kesatuan
kebenaran yang sama, yang selalu menawarkan pelajaran mulia disetiap saat. Di dalam bentuk atau tanpa bentuk, namun bila kita memiliki sedikit kebijaksanaan
untuk memahaminya, dia adalah sosok guru [guru universal].
Pada dasarnya dalam pandangan Hindu sesuatu hal yang bijaksana baik dalam hal duniawi maupun spiritual adalah guru secara universal, oleh karena itu gelar guru sebenarnya tidak terbatas pada wujud manusia saja. Mengapa…!, karena kata guru berasal dari bahasa Sanskerta memiliki makna yang sangat luas, yaitu berakar kata “Gu” yang berarti kebodohan dan “Ru” berarti menyingkirkan, sehingga mereka yang disebut dengan guru adalah bagaikan para Dewa, sosok yang mampu menyingkirkan kebodohan [ajnana] seseorang menuju kebijaksanaan [vivekajnana]. Seperti yang tersabdakan dalam Rg Veda X.65.7 “divaksaso agnijihva rtavrdhah—para guru adalah penyebar [penerus] kebenaran, para orator yang cemerlang dan suci bagaikan memiliki tubuh kedewataan”. Sifat guru sejati adalah rahasia, terkadang sering tidak nampak dalam jangkauan kita. Akan tetapi alangkah baiknya sebagai seorang pemula, untuk lebih banyak mengenal guru dan fungsi guru agar kita dibimbing, dituntun, dalam kehidupan ini untuk menuju ke sumber kebahagiaan.
Pada dasarnya dalam pandangan Hindu sesuatu hal yang bijaksana baik dalam hal duniawi maupun spiritual adalah guru secara universal, oleh karena itu gelar guru sebenarnya tidak terbatas pada wujud manusia saja. Mengapa…!, karena kata guru berasal dari bahasa Sanskerta memiliki makna yang sangat luas, yaitu berakar kata “Gu” yang berarti kebodohan dan “Ru” berarti menyingkirkan, sehingga mereka yang disebut dengan guru adalah bagaikan para Dewa, sosok yang mampu menyingkirkan kebodohan [ajnana] seseorang menuju kebijaksanaan [vivekajnana]. Seperti yang tersabdakan dalam Rg Veda X.65.7 “divaksaso agnijihva rtavrdhah—para guru adalah penyebar [penerus] kebenaran, para orator yang cemerlang dan suci bagaikan memiliki tubuh kedewataan”. Sifat guru sejati adalah rahasia, terkadang sering tidak nampak dalam jangkauan kita. Akan tetapi alangkah baiknya sebagai seorang pemula, untuk lebih banyak mengenal guru dan fungsi guru agar kita dibimbing, dituntun, dalam kehidupan ini untuk menuju ke sumber kebahagiaan.
Isa Upanisad: Isvara di Seluruh Semesta
Upanisad adalah bagian pustaka Veda yang muncul dibagian akhir Veda,
yakni setelah Samhita, Brahmana dan Aranyaka. Jika Samhita dapat dikatakan
sebagai pohon, Brahmana adalah bunganya, Aranyaka adalah buahnya, buah yang
belum matang. Upanisad adalah buah yang sudah matang. Kematangan Upanisad tentu
berangkaian dari perjalanan ketiga pustaka-pustaka sebelumnya. Upanisad
menekankan cara langsung peyadaran diri melalui jalan ilmu pengetahuan [Jnana
Marga], ketunggalan [Abheda] jiwa dengan Yang Maha Tertinggi. Dan secara
esensial Upanisad menyampaikan tema tentang penyelidikan falsafah dan
berhubungan dengan keadaan pikiran yang bebas dari belenggu materialisme.
Keistimewaan dari Upanisad yang tidak dimiliki oleh sistem dalam
filosofi lain adalah, eksistensinya mengandung mantra yang menerjemahkan
pemikiran filosofis dari bantuan getaran mantra pengalaman nyata. Jika
seseorang belajar hidup dengan apa yang diajarkan di dalamnya maka akan
mendapat kemurnian pikiran. Karena Upanisad bukanlah hanya sekedar latihan
mental tetapi juga sebagai jalan hidup, seperti apa adanya. Hal inilah yang
menyebabkan Upanisad menjadi batang tubuh saripati Veda [Vedanta].
Demikian pula dengan Isa Upanisad yang menjadi sub bagian dalam saripati
Veda yang dirumuskan oleh Adi Sankaracharya, yang menekankan doktrin non-dualis
[Advaita]. Isa atau Eesa adalah Eesaavaasya Upanisad. Ia disebut demikian
karena ia muncul dimulai dengan kata-kata “Eesa Vaasyam”. Konsep ketuhanan
dalam Isa Upanisad dimulai dengan menyebutkan bahwa Isa, Isvara atau Tuhan
berada diseluruh semesta dan kita harus mencapai kesadaran Paramatma Tattva.
Isa yang mutlak, yang Impersonal, seperti mantra berikut.
"Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat...."
[Isa Upanisad, 1]
"Tuhan Yang Maha Esa memiliki dan mengendalikan
segala sesuatu yang ada di alam semesta baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak...."
Mantra ini memberikan pengertian bahwa alam semesta ini tidak dapat
dipisahkan dari satu sistem dalam satu kesatuan alam semesta. Dan semua
sistem-sistem yang berantai dalam semesta adalah atas dasar kendali [Avasyam]
Beliau. Mantra ini ingin mengisaratkan
bahwa tidak ada tempat dimana Beliau tidak ada. Ibarat tangan misalnya, tangan
akan dikatakan sebagai tangan yang bernyawa jika tangan itu masih melekat di
badan yang merupakan kesatuan kesempurnaan badan itu sendiri. Namun jika tangan
itu terpotong, tangan tetap akan terlihat sebagai tangan, akan tetapi tangan
itu tidak bernyawa. Ia akan ada bersama kehampaan, kepalsuan, tanpa kesadaran
[Maya].
Hal ini menunjukkan bahwa dunia ini berada di antara Realitas [Isa] dan
Non Realitas [konsep yang tidak dapat menjadi objek pengalaman]. Karena itu
dikatakan dunia ini bukan realitas dan
bukan pula mutlak non realitas. Dengan cara lain dapat dikatakan dunia ini
tidak memiliki hakikat sendiri, ia bergantung pada keberadaan yang lain, yaitu
Isa, dan dunia ini hanya ada untuk sementara. Sementara disini berarti, sekitar
432 milyar tahun yang disebut satu siang Brahma. Setelah itu dunia mengalami
devolusi atau mengkerut secara perlahan dan lenyap dalam Isa, selama waktu yang
sama, selama itu tidak ada penciptaan, ini disebut satu malam Brahma. Setelah
itu muncul kembali kehidupan secara perlahan [evolusi] yang berlangsung selama
satu siang Brahma. Demikian seterusnya. Jadi kalau dunia atau alam semesta ini
mengalami keadaan ada dan tiada, perubahan terus menerus [Samsara], namun Isa
selamanya ada, abadi. Demikianlah keutuhan, kesatuan alam semesta yang
disempurnakan oleh Beliau sebagai pengendali [Isa].
Sebagaimana halnya si pande besi,
maka besi yang dikerjakannya dengan alat-alatnya seperti paron, palu, supit,
kikir, semua itu sesungguhnya adalah besi yang satu juga. Demikian besi bahan
dibuat keris oleh si pande. Keris itu ada banyak jenisnya, ada keris sebagai
senjata sang raja, ada keris sebagai senjata seorang petani, ada keris sebagai
seorang pendeta. Sesungguhnya semua itu dikenal dengan nama keris sebagai
senjata, hanya cara membuatnya bermacam-macam. Selama besi itu runcing, maka
selama itu keris namanya. Keris yang ada pada raja, seperti mamalya, sangkuh,
tombak yang merupakan sarana berperang mencabut nyawa. Keris yang ada pada
petani, seperti pisau pemotong, kapak, sebagai sarana untuk mencari nafkah dan
lain sebagainya.
Hal ini dapat dimaknai bahwa, eksistensi Isa dan Atman hakikatnya adalah
sama, sehingga sesungguhnya Atman adalah Isa itu sendiri, Ada dan Yang Nyata.
Hanya Atman yang masuk dalam tubuh tampak berbeda bentuk tubuhnya. Ia bisa
berwujud binatang, pohon, bebatuan, manusia dengan berbagai inteleknya atau
bahkan para Deva. Demikianlah bagaikan keris yang sama-sama terbuat dari besi
tapi berbeda-beda bentuknya sesuai dengan keteraturan hukum alam [Rtam].
Walaupun berbeda, tetapi besi-lah hakikatnya. Isa bersifat meresap keseluruh
ciptaan-Nya. Artinya, bagaimanapun keadaan makhluk-makhluk itu, baik
kaya-miskin, lemah-kuat, jahat-baik semua dalam pengetahuan Isa sebelum ia
tercipta. Sehingga tidak perlu bingung dengan keadaan ini, sebab keberadaan
kita sepenuhnya berada dalam genggaman Isa.
Di dalam Bhagavad Gita VII.4-5 juga demikian dinyatakan bahwa “Tanah,
air, api, udara, angkasa, pikiran, kecerdasan dan keakuan yang palsu—secara
keseluruhan delapan unsur ini tenaga-tenaga material yang terpisah dari-Ku” dan
“Wahai Arjuna yang berlengan perkasa, disamping tenaga-tenaga tersebut adapula
tenaga-Ku yang lain bersifat utama, terdiri dari para makhluk hidup, yang
menggunakan sumber-sumber alam material yang rendah tersebut”. Sangat jelas
bahwa makhluk hidup adalah merupakan bagian Alam Utama [Tenaga Utama—Isa].
Tanah, air, api, udara, angkasa, pikiran, kecerdasan dan keakuan yang
palsu adalah tenaga yang rendah atau wujud keris, yang terkadang membuat kita lupa
bahwa keris itu adalah besi. Makhluk hidup yang menggerakkan alam rendah dalam berbagai
tujuan adalah Tenaga Utama sendiri atau besi yang jika kita sadari akan hakekat
ini tidak akan membuat kita bingung, karena besi tetaplah besi. Artinya, tidak
akan ada yang mampu bergerak tanpa kendali-Nya. Tenaga-tenaga akan selalu
dikendalikan oleh Tenaga Utama. Makhluk hidup tidak memiliki eksistensi
sendiri. Isa Upanisad menyebut Tenaga yang mengendalikan atau Isa ibarat api,
sedangkan panasnya adalah energi yang menyertai setiap makhluk di alam semesta.
Itulah sebabnya, seperti halnya panas yang adalah bagian api sendiri Tuhan
lebih cepat daripada pikiran. Seperti mantra berikutnya.
"Anejad ekam
manaso javio
Nainad deva
apnuvan purvam arsat
Tad dhavato
‘nyan atyeti tisthat
Tasminn apo
matarisva dadhati"
[Isa
Upanisad, 4]
"Walaupun senantiasa berada di kediaman-Nya, Tuhan Yang Maha Esa lebih
cepat daripada pikiran dan dapat mengungguli semua sosok lain yang berlari.
Para Deva yang perkasa tidak dapat mendekati Dia. Walaupun berada disatu
tempat, Dia mengendalikan penyedia angin dan hujan. Kemuliaan-Nya melebihi
semua".
Tuhan bersifat mutlak, mutlak dalam hal ini Tuhan sangat sulit dipahami
oleh pemahaman manusia biasa, bahkan orang-orang yang tercerahkan sekalipun
memiliki batasan pengetahuan tentang hal ini. Dengan potensi-Nya yang sangat sulit
dipahami, sekaligus Tuhan dapat menjangkau setiap bagian dari tenaga-Nya yang
diciptakan. Disisi lain menunjukkan kendati Tuhan memiliki kediaman disuatu tempat,
namun Dia juga berada dimana-mana. Karena setiap tempat adalah kediaman-Nya.
Sehingga dipertegas kembali dalam mantra ini bahkan para Deva-pun dikendalikan
oleh Beliau. Karena Dia-lah Energi dari para pelari, Dia-lah Energi dari
pikiran dan Dia-pula Energi dari para Deva.
Di dalam lingkup yang lebih luas, kita sering tertipu dengan pembungkus
material—bahwa kita menganggap alam semesta hanya sebatas badan yang berupa
pohon, rumput, batu, pasir dan lain sebagainya yang hanya dapat ditangkap
sebatas panca indra kita. Keadaan semacam inilah yang disebut khayalan oleh Sankharacarya
dalam teori Advaita-nya. Misalnya seseorang pergi ke ladang, di rerumputan yang
lebat terlihat ada seekor ular. Perlahan-lahan didekati ular itu dan akan
mengusirnya dengan tongkat. Tetapi begitu dekat, ternyata itu hanya seutas tali. Ketika seseorang
jalan-jalan di pantai pada suatu senja. Terlihat ada sepotong perak di atas
pasir, lalu orang itu mendekati dengan hati yang berdebar-debar, dan
membayangkan akan menjual perak itu dengan harga yang cukup tinggi. Tetapi
begitu dekat ternyata hanyalah kulit kerang. Yang dimaksud dalam analogi ini
adalah bahwa kita sering menganggap wujud nyata atas dasar penglihatan indra
adalah nyata dan abadi.
Padahal jati diri alam semesta adalah Atman yang juga Isa. Isa-lah yang
memerintahkan matahari [wujud-wujud yang dianggap abadi] untuk menyinarkan
sinarnya ke bumi, namun Isa tidak ditutupi oleh cahaya matahari itu sendiri.
Contoh yang lebih dekat, di malam yang gelap kita mengendarai mobil, tiba-tiba
seorang polisi meminta kita untuk meminggirkan mobil ke tepian jalan. Setelah
menepi pak polisi mengarahkan sinar senternya ke wajah kita, karena kita
dianggap melanggar rambu lalu lintas. Karena sorotan cahaya lampu senter itu,
kita tidak dapat melihat wajah pak polisi, sementara pak polisi dapat melihat
wajah kita dengan jelas. Itulah sebabnya
dalam Isa Upanisad 16 dijelaskan “Wahai Isa... mohon menyingkirkan
kecermelangan cahaya rohani-Mu, supaya hamba dapat melihat wujud
kebahagiaan-Mu….”.
Antara matahari dan sinarnya ada kesatuan. Begitu juga antara Isa dan
seluruh makhluk hidup ada persatuan. Matahari itu satu namun jumlah atom-atom
sinar matahari tidak terhitung jumlahnya. Sinar matahari adalah bagian dari
matahari. Dan matahari serta sinar matahari menyusun matahari yang menjadikan
ia lengkap dan sempurna. Jadi sinar yang sering menyilaukan kita, yang sering
membuat kita heran dan takjub bersumber
dan dikendalikan oleh Isa. Inilah sinar yang mengalir dari badan Isa, sinar
inilah disebut Atman bukan badan. Dari kediaman-Nya-lah segala energi mengalir.
Selanjutnya, hal serupa juga dijelaskan dalam mantra berikut.
“Tad ejati tan naijati
Tad dure tad u antike
Tad antar asya
sarvasya
Tad u sarvasyasya bahyatah”
[Isa Upanisad, 5]
“Tuhan Yang Maha Esa berjalan kaki dan tidak berjalan kaki. Tuhan sangat
jauh dari kita, tetapi Dia juga dekat sekali. Tuhan ada di dalam segala
sesuatu, namun Dia juga di luar segala sesuatu”.
Hal ini kembali menunjukkan bagaimana kehebatan Isa sebagai sumber
energi. “Isa berjalan kaki dan tidak
berjalan kaki, jauh dan juga dekat” mungkin terlihat sebagai kontradiksi. Namun
kontradiksi ini hanya ingin menunjukkan kehebatan Isa yang melampaui
keterbatasan pikiran kita. Alam semesta yang senantiasa berekspansi ada di
dalam-Nya. Isa meliputi segala sesuatu. Seperti udara, tidak kemana-mana,
tetapi berada dimana-mana. Itulah kebenaran sejati dan itulah Jati Diri kita.
Itulah Isa. Sekali lagi kita akan kesulitan untuk memahami lewat panca indra,
begitu juga lewat pikiran—tidak bisa. Karena Isa lebih cepat dari segalanya,
kendati demikian Isa tidak bergerak. Bandingkanlah dengan badan yang dapat
dipahami oleh pikiran dan indra. Karena badan tidak bisa berada dimana-mana maka
badan harus menempuh perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Dapat
dikatakan Kebenaran Sejati [Isa—Atman] ibarat udara, tidak kemana-mana, tidak
perlu kemana-mana karena sudah berada dimana-mana.
Alasan kuat semacam inilah yang sering digunakan Mahatma Gandhi dalam
setiap dialognya dengan misionaris Kristen. Gandhi berkata “Saya menyatakan
diri saya sebagai manusia yang beragama dan taat sembahyang dan bila saya
dipotong berkeping-keping, Tuhan akan memberikan saya kekuatan untuk tidak
menolak-Nya dan untuk menegaskan bahwa Dia ada. Orang Islam mengatakan tidak
ada yang lain selain Dia, orang Kristen mengatakan hal yang sama dan demikian
juga orang Hindu, dan bila saya diijinkan mengatakan hal yang demikian, maka
orang Budha pun mengatakan hal yang sama walaupun dalam kata-kata yang berbeda,
masing-masing dari kita bisa membuat penafsiran kita sendiri atas Tuhan. Tuhan
meliputi tidak hanya planet bumi yang kecil ini tapi jutaan dan miliaran
planet-planet yang lainnya. Bagaiamana kita makhluk kecil yang lemah begitu
tidak berdaya sebagaimana Dia telah menciptakan kita, bagaimana mungkin kita
dapat mengukur kebesaran-Nya, kasih-Nya yang tiada batas dan cinta-Nya yang tiada
bertepi, sehingga Dia mengijinkan manusia secara biadab, menolak-Nya,
bertengkar tentang-Nya dan memotong leher kawannya? Bagaimana kita mengukur
kebesaran Tuhan Yang Maha Pemaaf dan Maha Suci? Jadi kita bisa mengucapkan kata
yang sama tapi tidak memiliki makna yang sama bagi kita semua…..”.
Lalu bagiamana dengan tempat-tempat ibadah yang ada di luar? Bagaimana
peran Mandir, Masjid dan Gereja, apa peran mereka? Tempat-tempat ibadah setiap
agama memiliki tujuan sama. Tempat ibadah yang berada di luar hanyalah sebagai
pembantu kita untuk menembus pikiran—melampaui mind. Peran ini sudah terlupakan, dan tempat-tempat ibadah-pun
kehilangan kegunaannya. Jika peran ini dikembalikan. Tempat-tempat ibadah kita
bisa menjadi sarana meditasi. Arca-arca di dalam Mandir mengingatkan kita bahwa
Tuhan ada dimana-mana. Jika Dia meliputi segala sesuatu maka batu-pun
diliputi-Nya. Air dan angin-pun Ia liputi. Sungai-pun berada di dalam-Nya—dan
seluruh alam semesta berada dalam pelukan-Nya.
Itulah sebabnya jika kita mencari lingkar luarnya tidak akan pernah kita
temukan. Mereka-mereka yang berusaha mencari-cari lingkar luar kemahakuasaan
Isa akan merasa kelelahan. Sehingga sampailah mereka pada kesimpulan bahwa Isa
itu tidak ada, mereka tidak percaya dan mereka-mereka inilah yang disebut
atheis. Orang atheis bukan berarti ia tidak percaya pada Tuhan, karena
sebenarnya tidak ada orang yang tidak percaya pada Tuhan. Mungkin bahasa yang
tepat bagi orang-orang semacam atheis adalah orang itu sedang “Sakit”. Jika
kita sakit gigi, betapapun enak dan lezat makanan yang ada di depan kita, maka
akan dikatakan tidak enak dan mungkin menakutkan. Tapi jika kita sudah sembuh
dari “Sakit” makanan pun terasa menggairahkan dan enak saat kita memakannya,
apalagi perut sedang lapar. Walau orang itu “Sakit” namun ia masih menyayangi
dirinya sendiri. “Menyayangi” diri sendiri adalah menyanyangi Sang Aku juga,
karena Sang Aku ada dalam dirinya—dan “menyayangi” dirinya berarti juga sedang
memuja Sang Aku.
Setiap orang yang mencari Tuhan di luar akan kecewa. Karena lingkar
luar-Nya tidak akan terjangkau oleh panca indra kita. Jika Isa meliputi
segala-galanya, mantra ini seolah-olah mengarahkan mencari Isa ke dalam diri
yang paling baik. Setiap organ dalam tubuh kita tentu diliputi oleh-Nya, setiap
sel dalam tubuh juga diliputi oleh Dia. Semua terjadi dalam Dia. Oleh karena
itu, setelah memperoleh pencerahan seorang meditator akan berhenti, tidak
kemana-mana lagi. Meskipun jika ia berkeinginan untuk bergerak itu hanya untuk
kita yang belum sadar. Bahkan pada saat itupun sesungguhnya ia tidak bergerak,
namun kita melihat kesan bahwa ia bergerak. Inilah ketuhanan Mutlak Impersonal
dalam Isa Upanisad.
Yas tu
sarvani bhutani, Etmani evanupasyati
Sarva bhutesu
catmanam, Tato navijugupsate.
Yasmin
sarvani bhutany, Atmaivabhud vijanatah
Tatra ko
mohah kah soka, Ekatvam anupasyatah".
"Orang yang
secara sistematis melihat segala sesuatu berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan
melihat semua makhluk hidup sebagai bagian-bagian percikan Tuhan, dan melihat
Tuhan dalam segala sesuatu, tidak pernah merasa benci pada sesuatu atau kepada
makhluk manapun. Orang yang selalu melihat semua makhluk hidup sebagai percikan
spiritual, satu sifat dengan Tuhan, menjadi orang yang mengetahui berbagai hal
dengan sebenarnya. Dengan
demikian, hal apa yang dapatmenjadi
khayalan atau kecemasan bagi orang itu?"
Berdasarkan pengetahuan Veda pada umumnya, kita semua telah menyadari
bahwa setiap makhluk adalah percikan dari energi Tuhan. Demikian pula dalam Isa
Upanisad menekankan seluruh makhluk hidup adalah percikan-percikan Tuhan. Namun yang lebih penting adalah, Isa Upanisad
mengatakan setiap percikan di alam semesta diberikan energi [Atman] dari Energi
Utama [Isa—Paramaatman] untuk bertindak sesuai dengan kehendak Energi Utama.
Maksudnya adalah, apabila makhluk hidup dalam hal ini manusia lupa akan Atman itu, yang seharusnya bergerak dari
kesadaran Atman sendiri, maka dia dianggap berada dalam maya.
Samadhi atau Anubhava adalah pengalaman yang sangat membahagiakan dari
persatuan dengan Yang Maha Suci—cenderung menggoda seseorang untuk mengabaikan
dunia dengan segala “Cacat” dan “Ketidak sempurnaan” dan melihatnya sebagai
mimpi yang mengganggu dan tidak bahagia. Jalinan nyata dari dunia, dengan cinta
dan benci, dengan konflik dan perang, dengan kecemburuan dan persaingan dan
pertolongan yang tidak diminta, upaya pemeliharaan intelektual, perjuangan
moral sungguh-sungguh kelihatan yang tidak lebih dari mimpi yang tidak
substantif, tidak ada isinya, satu phantasmogaria yang menari di atas jalinan
Ada [Makhluk—Energi Utama] murni. Dan itu sebabnya manusia sepanjang
peradabannya, manusia selalu mencari perlindungan dari dunia yang penuh
tekanan, kebingungan, penghinaan, ketakutan akan suatu spirit di luar.
“Kau sedang mencari apa?” Tanya Pak Lurah yang melihat salah seorang
warganya sedang kebingungan mondar-mandir di depan rumahnya sendiri.
“Oh…, Pak Lurah, saya sedang mencari kunci saya yang hilang” Jawab si
Bedu menerangkan.
“Lho.... memang kuncinya hilang
dimana, Du...?”
“Di dalam, Pak”.
“Kenapa kamu carinya di luar jika
hilangnya di dalam?” sergah Pak Lurah sambil mengerutkan dahinya.
Dengan polosnya Bedu menjawab, “Karena di luar lebih terang Pak”.
Kita semua ingin bahagia, tanpa kecuali, dari mereka yang anak-anak
hingga yang telah lanjut usia. Namun semakin maju dunia ini dan semakin
dimanjakannya kita oleh teknologi, kenapa kata bahagia jarang didapat?. Karena
kita mencarinya di luar. Kita pun sering berpikir bahwa kebahagiaan akan kita
temukan di luar. Kita berpikir bahwa jika kita
mencapai apa yang kita inginkan, kita akan merasa bahagia. Namun apa
yang terjadi setelah beberapa waktu? Kesenangan apa yang kita kira sebagai
kebahagiaan, itu mulai kehilangan warna, seperti pakaian yang mulai kehilangan
warna kemilaunya, memudar dan keseganan memakainya pun muncul.
Isa an hana irikang mwang—Isa ada di dalam diri seseorang. satu-satunya cara untuk menemukan
kunci yang hilang itu tiada lain dan tiada bukan adalah dengan masuk dan
mencarinya ke dalam. “Sekian lama aku memanggil nama-Mu, sambil terus-menerus
mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, akupun terhenyak dan mulai
menyadari bahwa sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam
rumahku sendiri. Demi Tuhan, ketika kau melihat dirimu sebagai Yang Maha Indah
maka kaupun akan menyembah dirimu sendiri” Kata Jalaludin Rumi. Ini artinya
kita harus mulai merenung, berdialog dan bertanya pada diri sendiri. Ajukan
pertanyaan-pertanyaan yang semakin dalam tentang apa yang benar-benar kita
inginkan dalam hidup ini. Maka jawaban akhir yang akan kita temukan adalah
keinginan kita akan kedamaian, semua orang menginginkannya. Dan bila kedamaian
adalah jawaban akhir yang kita butuhkan, itu artinya kedamaianlah yang kita
butuhkan agar bahagia.
Itulah sebabnya salah satu mantra Brhadaranyaka Upanisad 1.3.28 berbunyi
“Bimbinglah kami dari yang tidak nyata, kepada yang nyata, dari kegelapan
kepada cahaya, dari kematian menuju kehidupan abadi”. Hal ini mengandaikan
perbedaan antara realitas, cahaya dan kehidupan abadi dengan ketidaknyataan,
kegelapan dan kematian. Realitas, cahaya dan kehidupan abadi adalah hidup dalam
dunia Isa dan ada di dalam diri kita. Ketidaknyataan, kegelapan dan kematian
adalah kehidupan yang terus berubah [Samsara] dan ada di luar diri kita. Jika
ada seseorang yang mengatakan harus takut pada Tuhan, maka itulah yang disebut
kebodohan oleh Shankaracharya. Tentu tidak ada ketakutan dalam Cahaya—Isa,
karena Isa adalah kebenaran, kesadaran
dan kebahagiaan abadi [Sat Chit Ananda].
Itulah sebabnya Isa Upanisad 17 berpesan “Biarlah badan ini yang
bersifat sementara dibakar menjadi abu dan biarlah udara kehidupan menyatu
dengan keseluruhan udara....”. Mantra ini mengisyaratkan kita akan
pelepasan, untuk bahagia manusia tidak
memerlukan apa-apa, tidak perlu mencarinya di luar, bahkan tidak perlu usaha
yang keras. Semua perangkat kebahagiaan itu ada dan selalu ada dalam setiap
diri manusia. Kebahagiaan akan kita dapat dengan cara “membakar badan ini
menjadi abu” artinya kebahagiaan akan kita dapatkan dengan cara melepaskan,
melepaskan ikatan dari harapan-harapan terhadap hasil yang kita inginkan.
Dengan bahasa yang lain, kita patut menerima dan bersyukur dengan apa yang telah
terjadi. Namun untuk lebih memperjelas,
yang kita lepaskan bukan keinginan, tapi hasilnya. Melepaskan adalah
kegiatan yang sederhana dan tidak membutuhkan energi besar dan sesederhana
itulah jika kita inginkan kebahagiaan.
Tentu dengan alasan tersebut Bhagawad Gita III 42, juga menyatakan “Bergeraklah
dari Atman untuk menguasai budhi, dari budhi [kecerdasan] menguasai manah
[pikiran], selanjutnya pikiran menguasai indria”. Bukan bergerak dari objek
indria atau pembungkusnya. Oleh karenanya Isa Upanisad 8, menjelaskan “Orang seharusnya mengetahui dengan sebenarnya tentang Insan Tertinggi,
Yang Tidak Dibungkus Badan, Maha Tahu, Tidak Dapat Disalahkan, Tidak Memiliki
Urat Nadi, Suci dan Tidak Tercemar, Filsuf yang tidak mencukupi diri sendiri
yang telah memenuhi keinginan semua orang semenjak masa lampau”. Atman adalah Jati Diri—adalah Kesadaran
yang hendaknya menjadi sentral dalam bergerak. Jika kita menyadari setiap insan
di alam semesta digerakkan dan diperciki energi dari Energi Utama, maka tidak
akan ada lagi peperangan atas nama agama, suku, ras, golongan dan lain
sebagainya. Karena kita menyadari semua diliputi oleh Dia. Kita semua akan
menerima dengan penuh syukur keberagaman ini.
Perhatikanlah selama ini, kita
terbiasa memanjakan eksklusif khususnya dalam beragama. Pertikaian antara agama
karena semua agama merasa memiliki Tuhan-nya masing-masing. Pembantaian antar
agama terjadi karena mereka merasa memiliki kebenaran sendiri dan hanya ada
dalam agamanya sendiri. Isa Upanisad mengajak kita untuk berpikir secara
revolusioner. Isa tidak ada dalam agama, Isa tidak ada dalam kitab suci, Isa
tidak ada dalam para nabi, mesias, avatara dan buddha. Isa hanya ada dalam
diri-Nya saja. Istilah “Diri-Nya” pun tidak cukup untuk menjelaskan-Nya. Namun
apa boleh buat kita terbelenggu dengan konsep. Walaupun Dia adalah semuanya [Sarvani].
Jika saja seorang Muslim melihat
Kristen dalam Isa dan sebaliknya Kristen melihat Islam dalam Isa, maka saat itu
juga mereka akan berhenti saling menghujat, mereka akan lembut. Jika Muslim
melihat Gereja dalam Isa, maka mereka tidak akan pernah membakar Gereja.
Demikian juga jika Kristen melihat Masjid dalam Isa maka mereka tidak akan
merusaknya. Tidak akan ada kebencian dimana-mana [Navijugupsate].
Masalahnya adalah kita sering melihat Isa dalam Masjid, Isa dalam Gereja dan
Isa yang berada dalam Masjid dilihat berbeda dengan Isa yang ada di Gereja. Isa
Upanisad mengajak kita untuk menyadari bahwa Isa bukanlah monopoli seorang nabi
atau salah satu agama, bahkan Dia juga bukan monopoli dunia ini.
Mereka yang merasa berada dalam
Isa akan menjadi berkah bagi alam semesta, karena mereka sadar mereka adalah
bagian dari semesta, mereka adalah salah satu rantai penghubung dengan
rantai-rantai yang lainnya. Mereka tidak berlu memiliki sesuatu, mereka tidak
perlu memperebutkan sesuatu, mereka tidak perlu terikat pada sesuatu—semuanya
berada dalam Dia. Perlukah kita memiliki bulan dan bintang serta matahari? Perlukah
kita memiliki angin dan laut? Tanpa dimilikipun kita tetap mendapatkan
manfaatnya. Sehingga inilah jalan satu-satunya untuk menjalani hidup tanpa
dibelenggu hukum sebab akibat. Mereka yang hidup tanpa kesadaran demikian,
sesungguhnya hidup dalam kesia-siaan, kepalsuan, kegelapan, dan sedang
memperkosa diri sendiri. Ia yang memperkosa diri sendiri berarti melupakan jati
diri, melupakan potensi energi dalam diri kita. Dan jika memang itu yang
terjadi, maka tersia-siakanlah satu masa kehidupan kita. Tersia-siakanlah satu
masa yang disediakan oleh Keberadaan, oleh Energi Utama, oleh Isa.
Sadarilah bahwa segala kekuatan
diperoleh dari Isa; karena itu disetiap-setiap kekuatan tersebut harus
dipergunakan untuk melaksanakan kehendak Isa. Isa akan mudah dikenal bagi
orang-orang yang dalam hidupnya penuh pelayanan yang penuh rendah hati.
Pengetahuan yang sempurna adalah pengetahuan yang mengetahui bahwa Isa ada
dalam setiap sistem kehidupan. Mengetahui tentang tenaga-Nya. Dan mengetahui
bagaimana tenaga itu bergerak sesuai kehendak-Nya [Rtam].
Isa seperti api yang tersembunyi
dalam batang bambu kering, mesti digosok-gosok dengan tekun sehingga api
pencerahan muncul dengan sendirinya. Itulah sebabnya dalam Isa Upanisad 18 dan
sebagai mantra terakhir Isa Upanisad mengajak kita untuk sepenuhnya sadar dan
berserah diri akan kesemestaan-Nya. “Wahai Isa yang seperkasa api, wahai Yang
Maha Kuasa sekarang hamba menghaturkan segala sembah dan sujud pada-Mu,
menjatuhkan diri di kaki padma-Mu. Wahai Isa tuntunlah hamba di jalan yang
benar untuk mencapai kepada-Mu dan oleh karena Engkau mengetahui segala sesuatu
yang telah hamba lakukan pada masa lampau, mohon ampuni hamba dari
reaksi-reaksi dosa masa lampau agar tidak ada rintangan bagi kemajuan
[spiritual] hamba”.
Senin, 21 Desember 2015
Kepingan Hasrat Arjuna
KEPINGAN HASRAT ARJUNA DI MINTURAGA INDRAKILA
"Engkau mengendalikan seluruh alam semesta, Engkau adalah intisari
Kebenaran yang tertinggi, Engkau sungguh bersifat rahasia, kasihMU
menyusup dalam ada dan tiada, besar dan kecil serta benar dan salah atau
baik dan buruk, Engkau adalah penyebab segala yang ada yang mengalami
lahir hidup dan mati, Engkau adalah asal dan kembalinya seluruh jagat,
Engkau sesungguhnya nyata dan tidak nyata…"
…lantunan pujian
Arjuna kepada Bhatara Shiva memberikan pesan luhur—mengajak kita untuk
menerima pengalaman seutuhnya. Suka tanpa duka tidaklah utuh. Panas
tanpa dingin tidaklah utuh. Hitam tanpa putih juga tidak utuh.
Penerimaan semacam ini mampu membebaskan rasa kesal kita, rasa kecewa
kita. Karena suka tidak bisa eksis tanpa duka. Timbunan duka yang makin
tinggi itulah kemudian runtuh dan menciptakan kelegaan atau suka.
Kemudian jika suka menumpuk pun kita menjadi bosan, jenuh dan akhirnya
duka.
Selasa, 08 Desember 2015
Menghormati Guru dari Agama Lain...
“Menghormati
Guru dari Agama Lain”
“Vidya
gurusvetadeva nitya vrttih svayonisu,
pratisedhatsu
cadharman hitam copadisat svapi"
[Manavadharmasastra, II.206]
“Demikian juga hendaknya tingkah lakunya
kepada guru-guru lain dibidang ilmu pengetahuan, [seorang sisya-pen]harus
hormat kepada semua orang yang bisa memberikan nasehat yang baik”
[Sentuhlah kaki guru yang mengajarkan prinsip-prinsip Veda] |
Pada
dasarnya, semua guru dalam setiap agama yang ada di dunia ini menginginkan
seluruh sisyanya hidup dalam kedamaian. Jika semua guru di setiap agama
memiliki tujuan demikian, maka semua guru dalam agama yang berbeda-beda
memiliki tujuan yang sama. Setidaknya, alasan inilah yang dapat dijadikan
landasan setiap umat beragama untuk menghormati keberadaan guru dalam agama
lain. Demikian pula patut menjadi perhatian bagi sisya-sisya Hindu. Di dalam
pandangan pendidikan Hindu, Sisya-sisya Hindu tidak dibenarkan untuk tidak
menghormati keberadaan guru lain selain guru-guru yang sering mengajarnya.
Sabtu, 05 Desember 2015
Merajut Nusvantara
“MERAJUT NUSVANTARA”
Dahulu kala…. sebelum agama-agama datang ke Nusvantara, tetua kita sudah beradab... sudah bermoral... Nusvantara adem-adem saja.... air sungainya mengalir dengan tenang, ikan-ikan berenang dengan damai… gunung-gunung menjulang tinggi yang dihiasi rumput hijau, bunga-bunganya indah berwarna-warni…. burung-burung menari dengan girang… kidung-kidung suci dengan lantunan khas Nusvantara bergema dimana-mana... khas Java... Bali.. Sunda.. Bugis... Toraja.. Kaili... dan ratusan suku lainnya...tidak ada penjahat yang namanya mendunia, tidak ada Rahvana, tidak ada Duryudana, tidak ada Sakuni, tidak ada Yehudas, tidak ada Dewadatta, tidak ada kaum Jahillia... Itulah sebabnya Hyang Esa tidak mengirim secara khusus nama Avatara, Nabi, Maharsi, Lama, Penyair yang namanya besar seperti di negeri asal agama-agama yang masuk ke Nusvantara....
Sungguh tidak cerdas, jika agama-agama yang datang dari berbagai negeri itu membuat kita porak-poranda di dalam persaudaraan... sungguh miris, jika agama-agama yang datang dari berbagai negeri itu menjadikan kita memperkosa budaya luhur yang telah diwariskan tetua kita... leluhur kita... Kebanggaan Nusvantara dimata dunia adalah kebudayaan itu... agama yang ada di Nusvantara sekarang ada juga di seluruh dunia, tetapi kebudayaan khas Nusvantara tampil beda dari seluruh negara di dunia. Perhatikanlah negara-negara maju di belahan dunia ini... semua menghargai kebudayaannya.... bahkan ada negara yang miskin kebudayaan, sampai-sampai ingin ikut memiliki kebudayaan negara lain dengan cara yang tidak sopan...
kebudayaan yang kaya menjadikan Nusvantara menjadi UNIK dan MENARIK... TAMPIL BEDA... hal inilah sejatinya SPIRIT KEBANGSAAN KITA... CIRI KEBANGSAAN KITA... Seharusnya, saat ini kita tetap pada spirit dan ciri itu... walaupun agama yang datang ke-Nusvantara beragam dari berbagai belahan di dunia; datang dari negeri Bharata... dari Negeri Padang Pasir... negeri Sakura... Negeri Tirai Bambu... Negeri Gunug Bersalju… dan negeri-negeri lainnya... kebudayaan Nusvantara yang dianugerahkan oleh Hyang Esa melalui para Tetua jangan dilupakan!!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)