Kajeng Kliwon: Sebuah Refleksi Kedalam Diri
Di zaman kerajaan Bali yang dipimpin oleh seorang raja yang
bernama Udayana Warmadewa [abad 9 Masehi] pernah terjadi sebuah “keributan”
yang berbau kepercayaan [Sekta]. Kala itu menurut catatan sejarah ada sembilan
sekta yang berkembang di Bali. Diantaranya Pasupata, Bhairawa, Siwa
Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara semua
sekte yang ada, sekte Siwa Siddhanta yang paling dominan pemeluknya. Keributan
ini pun akhirnya mengundang kehadiran seorang Mpu dari Jawa atas permintaan
raja Udayana Warmadewa. Sang Mpu ini bergelar Mpu Kuturan. Kemudian atas
prakarsa Sang Mpu, semua para pengikut dari ke sembilan sekte dipertemukan.
Tentu dengan kharisma Sang Mpu Kuturan, mampu menghipnotis pertemuan itu
menjadi sebuah awal peradaban baru yang segar bagi kehidupan beragama di Bali.
Ke Sembilan sekte akhirnya dilebur, dikristalisasi menjadi satu—semacam lawar
Bali, semua bumbu menjadi satu kesatuan untuk menciptakan rasa nikmat bagi
lidah. Namun walaupun dilebur, harus tetap memiliki identitas; dengan penuh
keiklasan sekte Siwa Siddhanta akhirnya menjadi rumah kebersamaan dari
kedelapan sekte.
Kajeng Kliwon; Membuka pintu kesadaran dan hilangkan ketakutan
Ada banyak nilai-nilai luhur keagamaan yang diwariskan dari
kristalisasi sekte-sekte ini yang kemudian menjadi menyatu di “rumah” Siwa
Siddhanta. Nilai-nilai itu dapat kita sentuh misalnya melalui Rahinan-rahinan suci
di Bali. Rahinan berarti puncak-puncak hari yang disucikan oleh tetua Bali.
Salah satu dari puncak-puncak hari yang disucikan itu adalah Rahinan Kajeng
Kliwon. Kajeng Kliwon dahulu sangat identik dengan suasana yang menakutkan.
Karena begitu sakralnya hari Kajeng Kliwon sering membuat anak-anak Bali dahulu
menjadi ketakutan. Apalagi tetua biasa menyebut hari Kajeng Kliwon sebagai hari
yang pingit—identik dengan nilai magis yang tinggi. Sesungguhnya pesan-pesan
itu mengisyaratkan begitu baiknya vibrasi spiritual hari Kajeng Kliwon
itu—kemudian agar selalu eling, ingat dan sadar pada keberadaan Bhatara Siwa
yang ada di dalam diri. Ibarat kita mengetahui rasa pahit obat adalah bagian
dari pentingnya akan sebuah kesembuhan bagi seseorang. Setidak-tidaknya kita
diajak datang ke Sanggah untuk sembahyang.
Hilangkan rasa takut pada hari Kajeng Kliwon—ini pun pesan dari
aliran yang terkristalisasi dari sekte Bhairawa yang lebur sebagai Siwa
Siddhanta kemudian. Karena pada dasarnya ketakutan adalah tembok penghalang
terbesar untuk datang pada-Nya. Ketakutan lebih cenderung diakibatkan oleh
pengaruh materialisme atau badaniah. Itulah sebabnya para kaum Bhairawa memuja
Dewi Durga yang berwujud menyeramkan dan sering pula datang ke tempat-tempat
yang dikatakan angker.
Banyak yang salah paham—ketika melihat Hindu di
Bali memuja Dewi yang seram, apalagi datang untuk melakukan ritual di kunburan.
Wah…. wah… Hindu di Bali memuja setan…!!! Inilah pemikiran dan pemahaman yang
masih “jalan-jalan di luar” saja, belum meyelami lebih dalam akan hakikat
kebenarannya. Seperti banyak orang yang melihat datangnya banjir sebagai sebuah
musibah yang menakutkan dan mencekam. Padahal banjir datang bukan untuk
menakut-nakuti, banjir datang atas undangan kita sendiri, atas kehendak kita
sendiri yang kita sampaikan melalui penebangan hutan yang berlebihan, melalui
membuang sampah secara sembarangan. Yaaa… karena undangan kita. Kemudian tidak
sebatas undangan, banjir pun tidak serakah seperti kebanyakan manusia, banjir
datang membawa kado indah atas undangan itu. Kado itu berupa suburnya kelak
tanah yang telah kering akibat habisnya pepohonan, kado itu juga berupa
bersihnya sampah-sampah yang menghambat jalannya air diselokan-selokan. Manusia
pun sering tidak menyadari itu. Manusia telah terdoktrin warna luar banjir itu
saja.
Dewi Durga adalah personifikasi dari kekebalan dan keberanian
bhaktanya untuk melepaskan ikatan materialistis. Apapun wujud Dewi itu; seram,
lidah menjulur, bertaring, mata melotot sebenarnya adalah bentuk kasih dari
Dewi Durga yang selalu mengingatkan dan menyadarkan setiap manusia untuk tidak
mengikat dirinya pada hal-hal yang mampu membatasi dirinya dengan Tuhan. Karena
hal-hal material sering membuat orang lupa diri akan hakikat hidup ini. Di
dalam diri seseorang jika ego, keangkuhan, kesombongan, keserakahan yang
menguasai maka ia akan bertemu dengan kemurkaan Dewi Durga. Kejahatan itulah
yang akan merubah wujud Dewi menjadi tampak meyeramkan—karena merasa kejahatan
adalah musuh dari wujud kecantikan Dewi. Seseorang yang selalu terikat dengan
material akan susah berjiwa lembut, kasih dan penuh cinta seperti kecantikan
Dewi. Sifat-sifat jahat inilah yang hendak dihancurkan oleh wujud Dewi Durga
yang menyeramkan.
Sedangkan filosofis dalam melakukan ritual di kuburan atau setra
adalah sebagai tempat atau lapangan pengorbanan diri. Kuburan dikenal oleh
banyak orang awam sebagai tempat yang menakutkan. Oleh karena itu para pemuja
Dewi Durga datang ke kuburan untuk mempersembahkan ketakutannya, dalam paham
ini ketakutan harus disembuhkan dengan pergi ketempat yang menakutkan, seperti
rasa pahit obat dan gempuran banjir yang sebenarnya “menyembuhkan”. Dalam paham
ini tidak ada kompromi bagi rasa takut. Walaupun memang benar adanya banyak
juga yang menyalahgunakan sadhana spiritual ini kearah yang negatif.
Selanjutnya kita mesti memahami apa yang menjadi jalan keluar
untuk tidak terikat dengan material di dunia ini? Apa yang dapat merubah
kekerasan menjadi kelembutan? Dan kemarahan menjadi kasih sayang?. Kita mesti
menjadi Sahadewa!!! Itulah sebabnya di dalam pewayangan Bali, hanya Sahadewa
yang mampu meruwat wujud menyeramkan Dewi Durga agar kembali menjadi cantik
kembali. Sahadewa di antara Panca Pandawa adalah simbol kelembutan, simbol
orang yang penuh kasih sayang, lagi-lagi ini adalah pesan bahwa orang yang
tidak terikat dan mampu melepaskan tali material, kelembutan dan
kasih sayang yang datang dari kesadaran Jiwa adalah wujudnya. Orang yang lembut
dan penuh kasih sayang tidak takut pada apapun, pemahamannya luas seperti
kelembutan air samudra. Kemudian manusia semacam inilah yang akan menjadi
Visvamitra—sahabat alam semesta. Dan jika ingin menjadi demikian, seseorang
harus “Ngajeng…. Ajenglah dan masukkanlah….”.
Melihat rumah Siwa melalui Kajeng
Seperti makna melebur bukanlah menghilangkan, namun mendaur untuk
dijadikan sesuatu yang segar, yang mampu menjadi pupuk bagi kehidupan agar
lebih bertumbuh. Salah satu dari hasil peleburan itu, tetua Bali menamakannya
dengan nama Kajeng Kliwon. Kajeng berarti “Ada kehendak” membawa,
menghantarkan, mendorong “masuk”. Sama halnya dengan bahasa halus
tetua Bali saat mendengar anak atau cucunya sedang lapar. Mereka menganjurkan
agar “Ajeng dan Ngajeng” atau memasukkan sesuatu [makanan] ke dalam badan ini.
Kemudian selain kata “Ajeng” yang bertalian makna dengan Kajeng, secara
implisit para tetua Bali pun sering menyebut kata “Ajeng” sebagai diri kita
atau diri seseorang. Seolah-olah ada hal yang sangat penting di dalam badan ini.
Dan kemudian apa yang harus masuk ke dalam badan ini? Kita bisa perhatikan
melalui Dewa yang menguasai hari pasaran Kajeng ini; Sang Hyang Manacika adalah
penguasa pasaran ini. Sang Hyang Manacika dalam pengertian ini adalah pikiran.
Yaa… pikiran inilah yang mesti diarahkan kedalam badan, harus dipalingkan pada
apa yang ada di dalam, pikiran tidak boleh hanya tahu tentang badan, pikiran
tidak boleh hanya bersandar pada perangkat kerasnya saja. Demikian pula
mengarahkan dan memalingkan pikiran ke dalam badan bukan berarti meninggalkan
badan. berpaling dan mengarahkan pada apa yang ada di dalam adalah demi
keseluruhannya—termasuk badan.
Di dalam memalingkan pikiran ke dalam badan, mesti ada upaya juga,
mesti ada kehendak yang sungguh-sungguh. Ya… Kajeng berarti kehendak yang
sungguh-sungguh. Tanpa kehendak, upaya dan kemauan dari diri sendiri anjuran
dari orang lain hanyalah basa-basi semata. Namun biasanya, hadirnya upaya dan
kemauan yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk memasukkan sesuatu dalam tubuh
seseorang biasanya dikarenakan pengetahuannya tentang pentingnya tubuh bagi
perjalanan kehidupan. Hari ini, menit ini, detik ini kita mesti merubah doktrin
itu, merubah hukum itu. Badan memang harus kita akui sangat berharga, badan
memang sangat kita butuhkan dalam penjelmaan ini, karena badan adalah
keniscayaan. Tapi….!!!
Berharganya badan karena bersemayam Siwa di Kliwon…
Sedangkan Kliwon yang merupakan bagian dari pasaran hari Panca
Wara, yang bagi tetua Bali atau Jawa adalah sejalan dengan ajaran Sadulur Papat
atau Nyame Pat. Sadulur Papat yang dimaksud adalah empat saudara yang lahir
bersama manusia. Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang
berupa raga, wadag, atau jasad lahir akibat dibentuk oleh lima unsur material.
Lima unsur material adalah tanah [unsur padat—berupa tulang], air [unsur cair
berupa darah], api [unsur panas], udara [unsur udar—nafas] dan unsur
ruang. Lima unsur itu masing-masing mempunyai lima tempat. Inilah
kemudian yang disebut dengan Panca Maha Butha—Lima unsur material yang
membentuk raga manusia dalam ajaran Hindu. Menurut propoporsinya dalam ajaran
Hindu, Panca Wara ini dapat diklasipikasikan sebagai berikut, [1] Legi atau
Umanis bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar
[aura] putih, Dewanya Iswara. [2] Paing bertempat di selatan, salah satu tempat
dengan unsur Api, memancarkan sinar merah, Dewanya adalah Brahma.
[3] Pon bertempat di barat, satu tempat dengan unsur air, memancarakan sinar
kuning, Dewanya adalah Mahadewa. [4] Wage bertempat di utara, satu tempat
dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam. Dewanya adalah Wisnu. [5] Kliwon
tempatnya di pusat atau di tengah, adalah tempat Jiwa, memancarkan sinar manca
warna [bermacam-macam]. Disinilah berstana Siwa—rumah sejati dari sedulur papat
atau nyame pat.
Inilah kemudian mengapa begitu pentingnya apa yang ada di “tengah”
atau di “dalam”—kata Kliwon menyiratkan kepada setiap orang untuk melihat apa
yang ada di “tengah”, apa yang ada di “dalam”. Tentu di tengah atau di dalam
yang dimaksud adalah di dalam diri kita. Bukan kita sebagai manusia saja, tapi
“kita” bagi seluruh semesta raya. Oleh karenanya, dalam bahasa spiritual tetua
Bali, pengertian Kajeng Kliwon sangat jelas meletakkan pesan bagi kehidupan,
bahwa setiap kita “lapar”; masuklah ke dalam diri—masukkanlah pikiran kita
ketempat suci yang bernama badan. Di dalam badan ada Siwa yang bersemayam—maka
kita pun akan menemukan “sumber makanan abadi—yang tidak pernah ada
habisnya—yang selalu menghidupi”. “Makanan” inilah yang akan memberikan
“nutrisi” pada budhi sebelum ia diputuskan oleh pikiran untuk berkata-kata dan
bertindak dalam kehidupan. Dan inilah kemudian satu spirit yang sama oleh Sang
Mpu Kuturan dalam menamakan tempat suci di Bali; bagi Sang Maha Pencipta diberi
nama Pura Bale Agung yang berarti Stana Utama, Sang Maha Pemelihara diberi nama
Pura Puseh atau di tempat yang berada di Tengah [Puser] dan Sang Maha Pelebur
bernama Pura Dalem atau tempat yang berada di dalam. Pesan ini semakin jelas
walaupun kita menterjemahkan dengan bahasa yang sederhana saja, bahwa “Stana
yang Utama” berada di “Tengah”, yaitu di “Dalam” diri seseorang. Bale Agung,
Puseh dan Dalem memiliki makna yang sama, yang sama-sama menunjuk pada
keberadaan Tuhan yang ada di dalam diri sebagai Siwa—Atman.
Kliwon yang juga sebagai Ruang itulah juga sifat Siwa yang tidak
terbatas dan tidak terhingga. Karena tidak terhingganya, Ia mampu berada dalam
setiap apa yang ada di semesta. Karena itu Ia juga ada dalam manusia. Ia adalah
Siwa yang memancarkan dan menyerap semua. Tepatnya kita harus memahami ruang
sebagai hal yang penting, seperti memahami pentingnya ruang dalam sebuah rumah.
Tanpa ruang manusia dan semua benda tidak memiliki tempat. Tanpa air, angin,
api dan tanah—ruang selalu ada. Dalam pengertian ini, Siwa adalah Wisnu,
Brahma, Iswara dan Mahadewa. Semua warna ada di dalam-Nya. Karena Ia adalah
sumber warna itu. Kemudian spirit ini pun tertuang dalam berbagai lontar-lontar
yang berbau spiritual di Bali, salah satunya adalah dalam lontar Tattwa Jnana
32, berikut.
"…alihakna talinga
pangrengo,
kadi mangkana ta bhatara an hanerikang sarwa janma kabeh….
kadi mangkana ta bhatara an hanerikang sarwa janma kabeh….
…. innardhana
sinamadhi tka bhatara, an hana irikang mwang…"
"….alihkanlah telingamu
untuk mendengar, seperti itulah Siwa ada pada semua orang,nyata atau tidak nyata
ada-Nya, ada di seluruh alam semesta..., ….harap direnungkan dalam samadhi
Bhatara akan hadir, yang ada dalam diri seseorang”.
Secara substansial, makna Kajeng Kliwon memberikan pesan bahwa
badan manusia adalah simbol yang harus tetap dijaga. Badan adalah Pura atau mistic
simbol bagi setiap orang. Namun bukan berarti memanjakan badan dengan
material—sama sekali bukan. Sebagaimana Pura di luar diri, ia hanya berupa
bangunan yang tercipta dari material. Tentu Pura itu akan hancur, akan mengalami
kematian pada waktunya. Kita diajak untuk memahami bahwa hakikatnya adalah yang
berstana di dalam Pura itu. Itulah Sang Diri—Sang Keberadaan. Sang Keberadaan
itu pun susah diterjemahkan. Ia nyata dan juga tidak nyata. Ia nyata dan tidak
nyata berarti Ia yang menguasai segalanya dan Ia yang berada dimana-mana.
Berbeda dengan bangunan Pura atau badan kita, sekarang ia ada, tetapi esok atau
lusa ia tidak ada—namun Beliau selalu Ada. Tidak pernah tidak ada.
Inilah kemudian bagi tetua Bali—hidup yang sesungguhnya adalah
hidup yang segala tindakan berasal dari Dalam. Segala gerak kita bersumber dari
“Puser” atau “Stana Utama”. Tindakan yang berasal dari “Dalam” adalah
menghargai setiap mahluk sebagai bagian dari dirinya sendiri yang ada di dalam
setiap mahluk. Sehingga menyakiti mahluk lain berarti menyakiti diri sendiri.
Spirit ini pula yang kita kenal sebagai Tat Tvam Asi [Itu—Atman yang ada pada
setiap mahluk adalah Kamu—Atman yang ada dalam diri kita], Aham Brahma Asmi
[Aku—Atman dan Tuhan adalah sama], Vasudhaiva Kutum Bhakam [Semua mahluk
bersaudara], Manava Seva Madhava Seva [Melayani semua mahluk sama dengan memuja
Tuhan] dan spirit-spirit lainnya.
Akhirnya melayani semua sebanyak-banyaknya….
Mengetahui dan menghapal mantra-mantra suci mungkin perlu seperti
yang terjadi dewasa ini, tetapi menyentuh konsep Kajeng Kliwon melalui laku
sehari-hari tidaklah lebih buruk. Semacam mengikuti petunjuk lalu lintas;
banyak masyarakat yang tidak tahu dalam pasal berapa di Undang-undang negara
republik ini tertulis aturan jika menyala lampu berwarna merah tanda berhenti,
jika kuning tanda untuk siap-siap berjalan dan hijau tanda untuk berjalan.
Tetapi setelah ketiga lampu itu memainkan perannya seorang pengguna jalan akan
mematuhinya. Sederhana saja, jika tidak patuh ada konsekuensinya. Tentu ini
bukan semacam tekanan atau menakut-nakuti. Ini hanyalah aturan yang harus kita
terima demi keselamatan bersama, demi kesejahteraan bersama, demi menghindari
“kecelakaan”, bukan hanya demi satu agama, suku, warna, golongan tetapi untuk
semua. Para Dewa pun tunduk pada aturan ini. Karena itu, tentu semua keputusan
dan konsekuensi ada pada diri kita bersama, karena kita satu kesatuan. Seperti
jaring laba-laba, satu terputus semua akan bergetar.
Perhatikanlah aktualisasi dari spirit ini, dapat kita lihat dari
pesan tetua Bali; saat Kajeng Kliwon tetua Bali sering membuat caru [car—manis]
kecil dalam bentuk segehan [persembahan] sebagai ciri utama
hari Kajeng Kliwon. Segehan itu ditujukan pada Butha—energi dari alam semesta,
energi ini dapat pula diartikan berupa mahluk-mahluk samar [halus] yang
merupakan bagian alam semesta yang ikut menjaga alam selain manusia. Lagi-lagi
memberikan makna yang sangat dalam, kita dididik untuk tidak hanya memuja para
Dewa yang sering kita anggap berada di atas sana, menghormati sesama manusia,
tetapi menghormati mereka yang dikatakan lebih rendah kualitas dan tempatnya
pun mesti dihormati. Sehingga tidak ada setan, tidak ada jin, mahluk yang jahat.
Tidak ada mengagungkan atas dan merendahkan bawah. Tidak ada memuji langit dan
mencaci bumi dalam makna rahinan Kajeng Kliwon yang sesungguhnya. Yang ada
hanyalah rasa lapar untuk masuk ke “Dalam” agar bertemu dengan Sang Hyang Siwa
melalui pelayanan kepada Beliau yang ada pada semua sebanyak-banyaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar