Rabu, 17 Juni 2015

Kajeng Kliwon

Kajeng Kliwon: Sebuah Refleksi Kedalam Diri


Di zaman kerajaan Bali yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Udayana Warmadewa [abad 9 Masehi] pernah terjadi sebuah “keributan” yang berbau kepercayaan [Sekta]. Kala itu menurut catatan sejarah ada sembilan sekta yang berkembang di Bali.  Diantaranya Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara semua sekte yang ada, sekte Siwa Siddhanta yang paling dominan pemeluknya. Keributan ini pun akhirnya mengundang kehadiran seorang Mpu dari Jawa atas permintaan raja Udayana Warmadewa. Sang Mpu ini bergelar Mpu Kuturan. Kemudian atas prakarsa Sang Mpu, semua para pengikut dari ke sembilan sekte dipertemukan. Tentu dengan kharisma Sang Mpu Kuturan, mampu menghipnotis pertemuan itu menjadi sebuah awal peradaban baru yang segar bagi kehidupan beragama di Bali. Ke Sembilan sekte akhirnya dilebur, dikristalisasi menjadi satu—semacam lawar Bali, semua bumbu menjadi satu kesatuan untuk menciptakan rasa nikmat bagi lidah. Namun walaupun dilebur, harus tetap memiliki identitas; dengan penuh keiklasan sekte Siwa Siddhanta akhirnya menjadi rumah kebersamaan dari kedelapan sekte.


Kajeng Kliwon; Membuka pintu kesadaran dan hilangkan ketakutan
Ada banyak nilai-nilai luhur keagamaan yang diwariskan dari kristalisasi sekte-sekte ini yang kemudian menjadi menyatu di “rumah” Siwa Siddhanta. Nilai-nilai itu dapat kita sentuh misalnya melalui Rahinan-rahinan suci di Bali. Rahinan berarti puncak-puncak hari yang disucikan oleh tetua Bali. Salah satu dari puncak-puncak hari yang disucikan itu adalah Rahinan Kajeng Kliwon. Kajeng Kliwon dahulu sangat identik dengan suasana yang menakutkan. Karena begitu sakralnya hari Kajeng Kliwon sering membuat anak-anak Bali dahulu menjadi ketakutan. Apalagi tetua biasa menyebut hari Kajeng Kliwon sebagai hari yang pingit—identik dengan nilai magis yang tinggi. Sesungguhnya pesan-pesan itu mengisyaratkan begitu baiknya vibrasi spiritual hari Kajeng Kliwon itu—kemudian agar selalu eling, ingat dan sadar pada keberadaan Bhatara Siwa yang ada di dalam diri. Ibarat kita mengetahui rasa pahit obat adalah bagian dari pentingnya akan sebuah kesembuhan bagi seseorang. Setidak-tidaknya kita diajak datang ke Sanggah untuk sembahyang. 

Hilangkan rasa takut pada hari Kajeng Kliwon—ini pun pesan dari aliran yang terkristalisasi dari sekte Bhairawa yang lebur sebagai Siwa Siddhanta kemudian. Karena pada dasarnya ketakutan adalah tembok penghalang terbesar untuk datang pada-Nya. Ketakutan lebih cenderung diakibatkan oleh pengaruh materialisme atau badaniah. Itulah sebabnya para kaum Bhairawa memuja Dewi Durga yang berwujud menyeramkan dan sering pula datang ke tempat-tempat yang dikatakan angker.

Banyak yang salah paham—ketika melihat Hindu di Bali memuja Dewi yang seram, apalagi datang untuk melakukan ritual di kunburan. Wah…. wah… Hindu di Bali memuja setan…!!! Inilah pemikiran dan pemahaman yang masih “jalan-jalan di luar” saja, belum meyelami lebih dalam akan hakikat kebenarannya. Seperti banyak orang yang melihat datangnya banjir sebagai sebuah musibah yang menakutkan dan mencekam. Padahal banjir datang bukan untuk menakut-nakuti, banjir datang atas undangan kita sendiri, atas kehendak kita sendiri yang kita sampaikan melalui penebangan hutan yang berlebihan, melalui membuang sampah secara sembarangan. Yaaa… karena undangan kita. Kemudian tidak sebatas undangan, banjir pun tidak serakah seperti kebanyakan manusia, banjir datang membawa kado indah atas undangan itu. Kado itu berupa suburnya kelak tanah yang telah kering akibat habisnya pepohonan, kado itu juga berupa bersihnya sampah-sampah yang menghambat jalannya air diselokan-selokan. Manusia pun sering tidak menyadari itu. Manusia telah terdoktrin warna luar banjir itu saja.

Dewi Durga adalah personifikasi dari kekebalan dan keberanian bhaktanya untuk melepaskan ikatan materialistis. Apapun wujud Dewi itu; seram, lidah menjulur, bertaring, mata melotot sebenarnya adalah bentuk kasih dari Dewi Durga yang selalu mengingatkan dan menyadarkan setiap manusia untuk tidak mengikat dirinya pada hal-hal yang mampu membatasi dirinya dengan Tuhan. Karena hal-hal material sering membuat orang lupa diri akan hakikat hidup ini. Di dalam diri seseorang jika ego, keangkuhan, kesombongan, keserakahan yang menguasai maka ia akan bertemu dengan kemurkaan Dewi Durga. Kejahatan itulah yang akan merubah wujud Dewi menjadi tampak meyeramkan—karena merasa kejahatan adalah musuh dari wujud kecantikan Dewi. Seseorang yang selalu terikat dengan material akan susah berjiwa lembut, kasih dan penuh cinta seperti kecantikan Dewi. Sifat-sifat jahat inilah yang hendak dihancurkan oleh wujud Dewi Durga yang menyeramkan.

Sedangkan filosofis dalam melakukan ritual di kuburan atau setra adalah sebagai tempat atau lapangan pengorbanan diri. Kuburan dikenal oleh banyak orang awam sebagai tempat yang menakutkan. Oleh karena itu para pemuja Dewi Durga datang ke kuburan untuk mempersembahkan ketakutannya, dalam paham ini ketakutan harus disembuhkan dengan pergi ketempat yang menakutkan, seperti rasa pahit obat dan gempuran banjir yang sebenarnya “menyembuhkan”. Dalam paham ini tidak ada kompromi bagi rasa takut. Walaupun memang benar adanya banyak juga yang menyalahgunakan sadhana spiritual ini kearah yang negatif.

Selanjutnya kita mesti memahami apa yang menjadi jalan keluar untuk tidak terikat dengan material di dunia ini? Apa yang dapat merubah kekerasan menjadi kelembutan? Dan kemarahan menjadi kasih sayang?. Kita mesti menjadi Sahadewa!!! Itulah sebabnya di dalam pewayangan Bali, hanya Sahadewa yang mampu meruwat wujud menyeramkan Dewi Durga agar kembali menjadi cantik kembali. Sahadewa di antara Panca Pandawa adalah simbol kelembutan, simbol orang yang penuh kasih sayang, lagi-lagi ini adalah pesan bahwa orang yang tidak terikat  dan mampu melepaskan tali material, kelembutan dan kasih sayang yang datang dari kesadaran Jiwa adalah wujudnya. Orang yang lembut dan penuh kasih sayang tidak takut pada apapun, pemahamannya luas seperti kelembutan air samudra. Kemudian manusia semacam inilah yang akan menjadi Visvamitra—sahabat alam semesta. Dan jika ingin menjadi demikian, seseorang harus “Ngajeng…. Ajenglah dan masukkanlah….”.

Melihat rumah Siwa melalui Kajeng
Seperti makna melebur bukanlah menghilangkan, namun mendaur untuk dijadikan sesuatu yang segar, yang mampu menjadi pupuk bagi kehidupan agar lebih bertumbuh. Salah satu dari hasil peleburan itu, tetua Bali menamakannya dengan nama Kajeng Kliwon. Kajeng berarti “Ada kehendak” membawa, menghantarkan, mendorong “masuk”.  Sama halnya dengan bahasa halus tetua Bali saat mendengar anak atau cucunya sedang lapar. Mereka menganjurkan agar “Ajeng dan Ngajeng” atau memasukkan sesuatu [makanan] ke dalam badan ini. Kemudian selain kata “Ajeng” yang bertalian makna dengan Kajeng, secara implisit para tetua Bali pun sering menyebut kata “Ajeng” sebagai diri kita atau diri seseorang. Seolah-olah ada hal yang sangat penting di dalam badan ini. Dan kemudian apa yang harus masuk ke dalam badan ini? Kita bisa perhatikan melalui Dewa yang menguasai hari pasaran Kajeng ini; Sang Hyang Manacika adalah penguasa pasaran ini. Sang Hyang Manacika dalam pengertian ini adalah pikiran. Yaa… pikiran inilah yang mesti diarahkan kedalam badan, harus dipalingkan pada apa yang ada di dalam, pikiran tidak boleh hanya tahu tentang badan, pikiran tidak boleh hanya bersandar pada perangkat kerasnya saja. Demikian pula mengarahkan dan memalingkan pikiran ke dalam badan bukan berarti meninggalkan badan. berpaling dan mengarahkan pada apa yang ada di dalam adalah demi keseluruhannya—termasuk badan.

Di dalam memalingkan pikiran ke dalam badan, mesti ada upaya juga, mesti ada kehendak yang sungguh-sungguh. Ya… Kajeng berarti kehendak yang sungguh-sungguh. Tanpa kehendak, upaya dan kemauan dari diri sendiri anjuran dari orang lain hanyalah basa-basi semata. Namun biasanya, hadirnya upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk memasukkan sesuatu dalam tubuh seseorang biasanya dikarenakan pengetahuannya tentang pentingnya tubuh bagi perjalanan kehidupan. Hari ini, menit ini, detik ini kita mesti merubah doktrin itu, merubah hukum itu. Badan memang harus kita akui sangat berharga, badan memang sangat kita butuhkan dalam penjelmaan ini, karena badan adalah keniscayaan. Tapi….!!!

Berharganya badan karena bersemayam Siwa di Kliwon…
Sedangkan Kliwon yang merupakan bagian dari pasaran hari Panca Wara, yang bagi tetua Bali atau Jawa adalah sejalan dengan ajaran Sadulur Papat atau Nyame Pat. Sadulur Papat yang dimaksud adalah empat saudara yang lahir bersama manusia. Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir akibat dibentuk oleh lima unsur material. Lima unsur material adalah tanah [unsur padat—berupa tulang], air [unsur cair berupa darah], api [unsur panas],  udara [unsur udar—nafas] dan unsur ruang. Lima unsur itu masing-masing mempunyai lima tempat.  Inilah kemudian yang disebut dengan Panca Maha Butha—Lima unsur material  yang membentuk raga manusia dalam ajaran Hindu. Menurut propoporsinya dalam ajaran Hindu, Panca Wara ini dapat diklasipikasikan sebagai berikut, [1] Legi atau Umanis bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar [aura] putih, Dewanya Iswara. [2] Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar  merah, Dewanya adalah Brahma. [3] Pon bertempat di barat, satu tempat dengan unsur air, memancarakan sinar kuning, Dewanya adalah Mahadewa. [4] Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam. Dewanya adalah Wisnu. [5] Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, adalah tempat Jiwa, memancarkan sinar manca warna [bermacam-macam]. Disinilah berstana Siwa—rumah sejati dari sedulur papat atau nyame pat.

Inilah kemudian mengapa begitu pentingnya apa yang ada di “tengah” atau di “dalam”—kata Kliwon menyiratkan kepada setiap orang untuk melihat apa yang ada di “tengah”, apa yang ada di “dalam”. Tentu di tengah atau di dalam yang dimaksud adalah di dalam diri kita. Bukan kita sebagai manusia saja, tapi “kita” bagi seluruh semesta raya. Oleh karenanya, dalam bahasa spiritual tetua Bali, pengertian Kajeng Kliwon sangat jelas meletakkan pesan bagi kehidupan, bahwa setiap kita “lapar”; masuklah ke dalam diri—masukkanlah pikiran kita ketempat suci yang bernama badan. Di dalam badan ada Siwa yang bersemayam—maka kita pun akan menemukan “sumber makanan abadi—yang tidak pernah ada habisnya—yang selalu menghidupi”. “Makanan” inilah yang akan memberikan “nutrisi” pada budhi sebelum ia diputuskan oleh pikiran untuk berkata-kata dan bertindak dalam kehidupan. Dan inilah kemudian satu spirit yang sama oleh Sang Mpu Kuturan dalam menamakan tempat suci di Bali; bagi Sang Maha Pencipta diberi nama Pura Bale Agung yang berarti Stana Utama, Sang Maha Pemelihara diberi nama Pura Puseh atau di tempat yang berada di Tengah [Puser] dan Sang Maha Pelebur bernama Pura Dalem atau tempat yang berada di dalam. Pesan ini semakin jelas walaupun kita menterjemahkan dengan bahasa yang sederhana saja, bahwa “Stana yang Utama” berada di “Tengah”, yaitu di “Dalam” diri seseorang. Bale Agung, Puseh dan Dalem memiliki makna yang sama, yang sama-sama menunjuk pada keberadaan Tuhan yang ada di dalam diri sebagai Siwa—Atman.

Kliwon yang juga sebagai Ruang itulah juga sifat Siwa yang tidak terbatas dan tidak terhingga. Karena tidak terhingganya, Ia mampu berada dalam setiap apa yang ada di semesta. Karena itu Ia juga ada dalam manusia. Ia adalah Siwa yang memancarkan dan menyerap semua. Tepatnya kita harus memahami ruang sebagai hal yang penting, seperti memahami pentingnya ruang dalam sebuah rumah. Tanpa ruang manusia dan semua benda tidak memiliki tempat. Tanpa air, angin, api dan tanah—ruang selalu ada. Dalam pengertian ini, Siwa adalah Wisnu, Brahma, Iswara dan Mahadewa. Semua warna ada di dalam-Nya. Karena Ia adalah sumber warna itu. Kemudian spirit ini pun tertuang dalam berbagai lontar-lontar yang berbau spiritual di Bali, salah satunya adalah dalam lontar Tattwa Jnana 32, berikut.

"…alihakna talinga pangrengo, 
kadi mangkana ta bhatara an hanerikang sarwa janma kabeh…. 
…. innardhana sinamadhi tka bhatara, an hana irikang mwang…"

"….alihkanlah telingamu untuk mendengar, seperti itulah Siwa ada pada semua orang,nyata atau tidak nyata ada-Nya, ada di seluruh alam semesta..., ….harap direnungkan dalam samadhi Bhatara akan hadir, yang ada dalam diri seseorang”.

Secara substansial, makna Kajeng Kliwon memberikan pesan bahwa badan manusia adalah simbol yang harus tetap dijaga. Badan adalah Pura atau mistic simbol bagi setiap orang. Namun bukan berarti memanjakan badan dengan material—sama sekali bukan. Sebagaimana Pura di luar diri, ia hanya berupa bangunan yang tercipta dari material. Tentu Pura itu akan hancur, akan mengalami kematian pada waktunya. Kita diajak untuk memahami bahwa hakikatnya adalah yang berstana di dalam Pura itu. Itulah Sang Diri—Sang Keberadaan. Sang Keberadaan itu pun susah diterjemahkan. Ia nyata dan juga tidak nyata. Ia nyata dan tidak nyata berarti Ia yang menguasai segalanya dan Ia yang berada dimana-mana. Berbeda dengan bangunan Pura atau badan kita, sekarang ia ada, tetapi esok atau lusa ia tidak ada—namun Beliau selalu Ada. Tidak pernah tidak ada.

Inilah kemudian bagi tetua Bali—hidup yang sesungguhnya adalah hidup yang segala tindakan berasal dari Dalam. Segala gerak kita bersumber dari “Puser” atau “Stana Utama”. Tindakan yang berasal dari “Dalam” adalah menghargai setiap mahluk sebagai bagian dari dirinya sendiri yang ada di dalam setiap mahluk. Sehingga menyakiti mahluk lain berarti menyakiti diri sendiri. Spirit ini pula yang kita kenal sebagai Tat Tvam Asi [Itu—Atman yang ada pada setiap mahluk adalah Kamu—Atman yang ada dalam diri kita], Aham Brahma Asmi [Aku—Atman dan Tuhan adalah sama], Vasudhaiva Kutum Bhakam [Semua mahluk bersaudara], Manava Seva Madhava Seva [Melayani semua mahluk sama dengan memuja Tuhan] dan spirit-spirit lainnya.

Akhirnya melayani semua sebanyak-banyaknya….
Mengetahui dan menghapal mantra-mantra suci mungkin perlu seperti yang terjadi dewasa ini, tetapi menyentuh konsep Kajeng Kliwon melalui laku sehari-hari tidaklah lebih buruk. Semacam mengikuti petunjuk lalu lintas; banyak masyarakat yang tidak tahu dalam pasal berapa di Undang-undang negara republik ini tertulis aturan jika menyala lampu berwarna merah tanda berhenti, jika kuning tanda untuk siap-siap berjalan dan hijau tanda untuk berjalan. Tetapi setelah ketiga lampu itu memainkan perannya seorang pengguna jalan akan mematuhinya. Sederhana saja, jika tidak patuh ada konsekuensinya. Tentu ini bukan semacam tekanan atau menakut-nakuti. Ini hanyalah aturan yang harus kita terima demi keselamatan bersama, demi kesejahteraan bersama, demi menghindari “kecelakaan”, bukan hanya demi satu agama, suku, warna, golongan tetapi untuk semua. Para Dewa pun tunduk pada aturan ini. Karena itu, tentu semua keputusan dan konsekuensi ada pada diri kita bersama, karena kita satu kesatuan. Seperti jaring laba-laba, satu terputus semua akan bergetar.


Perhatikanlah aktualisasi dari spirit ini, dapat kita lihat dari pesan tetua Bali; saat Kajeng Kliwon tetua Bali sering membuat caru [car—manis] kecil dalam bentuk segehan [persembahan] sebagai ciri utama hari Kajeng Kliwon. Segehan itu ditujukan pada Butha—energi dari alam semesta, energi ini dapat pula diartikan berupa mahluk-mahluk samar [halus] yang merupakan bagian alam semesta yang ikut menjaga alam selain manusia. Lagi-lagi memberikan makna yang sangat dalam, kita dididik untuk tidak hanya memuja para Dewa yang sering kita anggap berada di atas sana, menghormati sesama manusia, tetapi menghormati mereka yang dikatakan lebih rendah kualitas dan tempatnya pun mesti dihormati. Sehingga tidak ada setan, tidak ada jin, mahluk yang jahat. Tidak ada mengagungkan atas dan merendahkan bawah. Tidak ada memuji langit dan mencaci bumi dalam makna rahinan Kajeng Kliwon yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah rasa lapar untuk masuk ke “Dalam” agar bertemu dengan Sang Hyang Siwa melalui pelayanan kepada Beliau yang ada pada semua sebanyak-banyaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar