Sejarah Pura Majapahit
I Putu Heri Dianandika
Keberadaan Pura Majapahit di
Desa Pakraman Baluk Kecamatan Negara
Kabupaten Jembrana tidak dapat dipisahkan kaitannya dengan tiga buah kerajaan,
yaitu masing–masing kerajaan Mengwi, kerajaan Jembrana dan kerajaan Blambangan
atau Malar-Kabat di Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Karena berdasarkan hasil Wawancara
dengan informan Suarem (Wawancara 04 Februari 2011) memberikan keterangan bahwa
diperkirakan dalam tahun 1764 Masehi, yang menjadi penguasa di kerajaan Mengwi
ialah I Gusti Agung Made Kemasan dari Sibang. Gusti Agung Made Kemasan menggantikan
raja sebelumnnya yang telah wafat, yaitu Cokorda Munggu/Cokorda Nyoman Alang
Kajeng/ raja Mengwi ke III, yang pada saat itu belum bisa menobatkan putra
mahkotanya sebagai raja karena masih cukup kecil maka diangkatlah I Gusti Agung
Made Kemasan.
______________________________________________________________
Catatan:
Kerajaan Jembrana dan
Blambangan pada mulanya sempat menjadi bagian dari kekuasaan kerajaan Buleleng
yakni Ki Barak Panji Sakti. Seperti yang di jelaskan oleh I Wayan Simpen
Bongaya dalam bukunya “Ki Barak Panji Sakti” , yakni sekitar tahun 1691 M,
berangkatlah angkatan perang Ki Gusti Ngurah Panji Sakti untuk menyerang
Blambangan… yang akhirnya dimenangkan oleh Ki Barak Panji Sakti… setelah itu Ki
Gusti Ngurah Panji Sakti diiringi oleh Teruna Goak- dan segenap laskar rakyat
pulang ke Bali. Di dalam perjalanan pulang itu panji sakti menyerang Jembrana
yang akhirnya dapat ditaklukkannya Jembrana….
Selanjutnya
dijelaskan bahwa sebelum Cokorda I Nyoman Alang Kajeng wafat, beliau
meninggalkan dua orang putra yaitu yang sulung bernama I Gusti Mbahiun yang
bergelar Cokorda Mbahiun dan putra bungsunya bernama I Gusti Agung Made Munggu.
Pada nantinya Cokorda Mbahiun inilah yang akan memegang kekuasaan di kerajaan
Mengwi.
Terkait dengan peristiwa ini dalam lontar Babad Mengwi pada lembar
/60b/-/61a/ dijelaskan sebagai berikut.
/60b/ …Caitanan ta muwah Gusti Agung Noman
Alang Kajeng ri wus lama angemban kaprabonirang kaka, ndah ta ri mangke ri
pandewatanira Batara Ring Kaleran, sira ta gumanti ratu, makapanglingganikang
rat, sapunpunaning kawiapura, wus puput biniseka, sinalinan jujuluk inaranan
Cokorda Munggu, enak denira angraksa rat, yan pirang warsa lawasire umadeg
ratu, mangke wus wreda sira, prapta pwa nalikanira mur pwa sira ring Puri
Munggu, apan sira karya angalihi pura, wus puput binasmi sapratekaning ratu
tekaning panileman, saha pitrayadna winangunaken ring taman Ahiun, laju sira
inaranan dening loka, Batara Andewata ring sor ing Balimbing. /61a/ Tucapa
ta mangke Ida I Gusti Mbahiun, jiesta putranira Batara sor ing Balimbing, sira
ta gumantining ratu, jumeneng ring kawia raja, abiseka Cokorda Mbahiun, abasa
kakasan papakering. Kunang arinira, abiseka I Gusti Made Munggu, darmotama pradneng aji, wruh angalap asihing, wagat
hana ta hasa sawahan, kaya teher apuri ring Munggu….(Babad Mengwi lembar /60b/-/61a/).
Terjemahannya:
/60b/…Kembali diceritakan beliau I Nyoman Alang Kajeng yang telah lama duduk
sebagai raja menggantikan kedudukan kakaknya, setelah wafatnya beliau yang
bergelar “Batara Ring Kaleran” beliau kemudian menggantikan kedudukannya
sebagai raja, merupakan pengayom rakyat, dan telah bergelar dan kemudian
berganti nama, kini bernama Cokorda Munggu. Beliau benar–benar bijaksana
mengemban negara. Entah beberapa lamanya beliau duduk sebagai raja, kini beliau
telah berusia lanjut, maka tiba waktunya beliau wafat di Puri Munggu, karena
beliau telah berpindah kedudukan. Setelah mayat beliau selesai dibakar lalu di
upacarakan sesui dengan pelaksanaan upacara bagi seorang raja, lengkap dengan
upacara Pitra Yadnya, yang kemudian dibuatkan stana di Taman Ahiun. Oleh
masyarakat luas beliu itu diberikan gelar “Batara Ndewata Ring Sor Ring
Balingbing”. /61a/ Kini disebutkan I
Gusti Agung Mbahiun putra dari “Batara Ring Sor Ring Balingbing” beliau itu yang
menggantikan duduk sebagai raja di Mengwi bergelar Cokorda Mbahiun. Adik beliau
bergelar I Gusti Agung Made Munggu, berbudi luhur dan menguasai ajaran sastra,
pandai menarik perhatian para rakyat, ahli di dalam pertanian dan segala bentuk
pekerjaan lainnya. Beliau itu juga berkedudukan di Munggu…. (Tim Penyusun,
2007:62-63).
Demikian pula keadaannya di Jembrana pada saat
itu diperintah oleh seorang raja yang bernama Anak Agung Ngurah Jembrana. Dalam
menjalankan tugas kerajaan dibantu oleh dua orang putranya yaitu: Anak Agung
Gede Agung dan Anak Agung Made Ngurah. Sebagai Purohita (penasehat kerajaan) adalah paman dari ibundanya yang
bernama Gusti Kaler dari Tukmung/Klungkung keturunan Anglurah Kaler Pacikan.
Hubungan raja Mengwi dengan raja Jembrana adalah termasuk hubungan vertikal
keluarga/kekerabatan yang sangat dekat, karena raja Jembrana I, yaitu Anak
Agung Ngurah Jembrana adalah putra dari raja Mengwi yang ke III, yaitu I Gusti
Nyoman Alang Kajeng yang diperkirakan menjabat sekitar tahun 1757 M. Sejarah
ini didukung pula dalam lontar Babad Mengwi sebagai berikut.
/59b/…tan kawarneng dine latri, wetu pwa
rare laki yowana pwa sira tan kahaning agring, tan warnanen manke wus
apangwangun tang rare, laju Ki Gusti Takmung, asung wruh ring I . /60a/
Gusti Agung Noman Alang Kajeng, yan wus apawangun, yusaning anakira lingira: I
Gusti Agung Noman Alang Kajeng, lahia gawanan marangke, ta upacen ginawa pwa
tang rare, mara ing Mangwi laju kinem angatera maraheng Jembrana, prasida
macekin ring kana, sinung panegran Gusti Ngurah Jembrana muwah hana pwa prenah
pamanira, apatra Gusti Kaler, kinen anembrama mareng Jembrana….(lontar Babad Mengwi /59b/-60a/).
Terjemahannya:
/59b/…Beberapa lama kemudian Gusti
Luh Takmung melahirkan anak laki–laki yang elok rupawan, kelahiran Gusti Luh
Takmung itu telah di upacarakan disampaikan kepada I. /60a/ Gusti Agung Nyoman Alang Kajeng, yang lalu
memerintahkan: “bawalah kemari putraku itu”. Kemudian anak itu dibawa ke Mengwi
langsung diperintahkan dibawa ke Jembrana yang dikemudian nanti selaku penguasa
di Jembrana dengan gelar Gusti Agung Ngurah Jembrana. Ada pula yang selaku
paman beliau bernama Gusti Kaler yang selaku pengemban di Jembrana…. (Tim
Penyusun, 2007:62-63).
Menurut Korn (dalam Nordholt 2009: 85) pada abad
ke delapan belas, Jembrana adalah wilayah yang belum digarap, namun kerajaan
Mengwi memiliki tujuan strategis dalam usahanya untuk dapat menapakkan kaki
disana (dalam rangka kontak dengan kerajaan Blambangan) sehingga diangkatlah
seorang anak astra untuk menjalankan
roda pemerintahan atas nama dinasti Mengwi. Anak astra adalah seorang anak yang dianggap tidak sah melalui
perkawinan dari seorang bangsawan yang lahir dari perempuan (Gusti Luh Takmung)
jaba (yang juga adalah Selir), tapi
diakui oleh ayahnya.
_____________________________________________
Catatan:
…beberapa waktu kemudian
hubungan kedua kerajaan tersebut (Buleleng dan Mengwi yang sempat berseteru
akibat bentrok Ki Gusti Ngurah Panji Gede, putra dari Ki Barak Panji Sakti
dengan Raja Mengwi) terjalin membaik, hingga akhirnya Raja Mengwi
mengawini putri Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, saudara perempuan Ki Gusti
Panji Gede yang bernama Ki Gusti Ayu Panji. Sebagai hadiah kepada sang putri
tersebut, maka ayahnya memberikan Blambangan dan Jembrana. Sejak saat itu Blambangan
dan Jembrana di bawah perintah Raja Mengwi. Atas kebijaksanaan Raja Mengwi kira-kira tahun 1750 M diangkat seorang putra
yang ibunya dari Takmung untuk menjadi Raja di Jembrana. Dan di Blambangan di
angkat putra Raja Blambangan (Ki Dewa Mas Sedah dan Ki Dewa Mas Pahit) bergelar
Pangeran Mangku Ningrat dan adik tirinya Ki Dewa Mas Wilis. Pemerintahan lalu
di bawah penguasaan Raja Mengwi. Suatu ketika pada waktu tertentu Raja Mengwi datang berkunjung ke Blambangan,
sejak saat itu Raja Mengwi bergelar “Ida Cokorda Sakti Blambangan”.
Misi yang diemban anak muda ini adalah untuk
mencaplok Puri Jembrana. Ia di utus sebagai pewaris Puri Jembrana dan mengambil
kekuasaan atas keluarga bangsawan setempat dengan menyingkirkannya
perlahan–lahan. Tentu ini bukan berarti bahwa anak astra Puri Jembrana tersebut adalah anggota keluarga kerajaan
secara penuh. Kedudukannya tidak sama dengan dinasti kerajaan Mengwi, tetapi
berada beberapa lapis lebih rendah. Kedudukannya yang lebih rendah tercermin
dari gelarnya, Gusti Ngurah, yang sama dengan gelar para bangsawan di wilayah
Mengwi, yang bukan anggota keluarga kerajaan (Nordholt, 2009: 85).
Pada suatu ketika, dengan tidak terduga suatu
peristiwa malapetaka menimpa Anak Agung Ngurah Jembrana, yaitu putranya yang
sulung Anak Agung Gede Agung meninggal dunia karena sakit dan wafatnya di taman
kerajaan. Anak Agung Gede Agung meninggalkan seorang putra yang belum dewasa
yaitu bernama Anak Agung Gede Jembrana. Sepeninggalnya Anak Agung Gede Agung
maka yang bertanggung jawab membantu raja Jembrana (ayahandanya) dipegang
sepenuhnya oleh putra raja yang kedua yaitu Anak Agung Made Ngurah adik dari
Anak Agung Gede Agung.
Sedangkan hubungan Mengwi dengan kerajaan
Blambangan (Malar-Kabat) adalah suatu hubungan kekuasaan, karena Blambangan
pada saat itu adalah merupakan daerah taklukan dari kerajaan Mengwi. Peristiwa
ini terjadi pada perkiraan tahun 1739 M. Selanjutnya untuk mengawasi gerak
gerik raja Blambangan yang telah menjadi taklukan dari raja Mengwi, maka raja
Mengwi Cokorda Alangkajeng menempatkan seorang patih yang dipilihnya dari
kalangan bangsawan, bernama I Gusti Made Ngurah dari Kaba–kaba, dan ditempatkan
di Lugondo (Rogojampi). Di Lugondo I Gusti Made Ngurah bergelar Temenggung
Ronggo Setoto. Gelar itu disandangnya karena diperkirakan pada saat itu di
Blambangan keadaan sosial keagamaan
telah bercampur antara agama Hindu dan agama Islam.
Kerajaan Blambangan atau sering pula disebut
kerajaan Macan Putih diperintah oleh seorang raja bernama Pangeran Mas
Sepuh/Pangeran Pati III/Pangeran Mangku Ningrat/Danu Ningrat/Mas Noyang dan
bergelar pangeran Macan Putih karena didasari atas pusat daerah kekuasaannya
berada di daerah Macan Putih (sekarang Rogojampi). Dalam masa sebagai bagian
taklukan dari kekuasaan kerajaan Mengwi, Mangku Ningrat didampingi oleh seorang
Purohita (penasehat kerajaan) bernama
Pangeran Wong Agung Wilis yang masih merupakan adik tiri dari raja Mangku
Ningrat. Patih beliau bernama Suta
Jiwa/Suta Wijaya (merupakan putra dari Mangku Ningrat), dan Patih Suta Negara.
Hal ini tersurat pula dalam Babad Wilis
pupuh i.9-i.17 sebagai berikut.
Pangeran
Pati/Mangku Ningrat/Macan Putih yang masih menganut agama Budha sudah lama
memerintah di Blambangan (manik lingga/permata istana). Kedua Patihnya Mas Suta
Jiwa/Suta Wijaya dan Mas Suta Negara tidak punya Wibawa, yang mendapat tempat
di hati rakyat dan pasukan, di hati sang raja pula, ialah Wong Agung Wilis adik
sang raja. Fitnah yang menjelekkan nama Wong Wilis merajalela di keraton dan
sumbernya yang terpenting ialah Tepasana (mertua Suta Jiwa/Suta Wijaya),
(Winarsih, 1980:4).
Selanjutnya dalam Babad Wilis juga dijelaskan, pada mulanya hubungan ketiga kerajaan
ini cukuplah baik, walaupun raja Macan Putih merasa tidak senang akan takluknya
kerajaan Blambangan di bawah kerajaan Mengwi. Ketidaksenagannya itu diakibatkan
hasutan dari patihnya Suta Jiwa (putra Mangku Ningrat) dan Tepasana (mertua
Suta Jiwa). Hal ini tertuang dalam Babad
Wilis pupuh ii.29–ii.36. Adapun
kutipanya sebagai berikut.
Wong
Agung Wilis tidak perduli dengan kemenangan orang Bali, hatinya lebih senang
seandainya matilah Tepasana dan Suta Jiwa yang dituduhnya menjadi sebab sang
raja bersikap berontak kepada Gusti Agung Mengwi, menjadi sebab pula dari
segala kesengsaraan yang merundung negerinya (Winarsih, 1980:4).
Berkaitan dengan hubungan kekuasaan kerajaan
Mengwi dengan kerajaan Blambangan, maka dimasa itu raja Jembrana sering pula
diberi tugas oleh raja Mengwi untuk mengawasi keberadaan dan perkembangan
kerajaan Blambangan, mengingat jarak Jembrana dengan Blambangan tidak begitu
jauh, hanya terpisah oleh selat Bali saja dan mengingat juga hubungan
kekeluargaan antara kerajaan Mengwi dan kerajaan Jembrana, sehingga kepercayaan
itu diberikan kepada raja Jembrana, sehingga bisa dikatakan bahwa Jembrana
digunakan sebagai salah satu sub satelit kerajaan Mengwi untuk kerajaan
Blambangan. Oleh karena tugas dan kepercayaan itu pula menjadikan raja Jembrana
dan raja Blambangan semakin hari semakin erat tali persahabatannya yang dilatar
belakangi seringnya pertemuan–pertemuan yang dilakukan hingga berganti–ganti
saling kunjung–mengunjungi.
Masih pada masa–masa sebagai taklukan
Mengwi, sampailah dalam suatu musim
kemarau panjang di kerajaan Blambangan (Malar-Kabat), dan dimasa kemarau
panjang itu merebaklah permainan rakyat, yaitu berupa adu jangkrik yang sangat
digemari oleh kalangan masyarakat dari lapisan bawah sampai lapisan tingkat
atas. Permainan ini semarak berkembang karena dalam praktiknya bersifat
perjudian. Di dalam suatu pertandingan jangkrik tingkat ningrat (bangsawan pembesar kerajaan) beradulah jangkrik raja Macan
Putih (Mangku Ningrat) melawan jangkrik milik raden Tumenggung
Ronggo Setoto. Dalam pertarungan Jangkrik kedua petinggi kerajaan ini berakhir
dengan terkalahkannya jangkrik milik raja Macan Putih.
Kalahnya jangkrik dari raja Macan Putih ternyata
tidak mengakhiri permainan adu jangrik tersebut, bahkan sebaliknya menjadi awal
dari gelapnya masa–masa yang akan dijalani dan dihadapi oleh raja Macan Putih.
Raja Macan Putih merasa tidak terima dan tidak puas akan kekalahannya. Seketika
itu raja Macan Putih memerintahkan salah satu patihnya yaitu Suta Jiwa/Suta
Wijaya (putra dari Mangku Ningrat) untuk membunuh Raden Ronggo Setoto (Utomo,
tt:7). Sehingga terjadilah perkelahian antara Raden Ronggo Setoto dengan patih
Suta Jiwa. Melihat perkelahian Raden Tumenggung Ronggo Setoto dengan Suta Jiwa,
membuat raja Macan Putih semakin marah karena Ronggo Setoto sangat kebal akan
senjata apapun. Akibat kebalnya Raden Ronggo Setoto maka ia di tangkap dan disiksa
hingga ia tewas dan dimakamkan di Luganta (Rogojampi). Peristiwa mengerikan ini
tersurat pula dalam Babad Tawang Alun
pupuh vii.14-21 sebagai berikut.
Ronggo
Setoto yang bertengkar dengan Suta Jiwa/Suta Wijaya (putra dari raja Mangku
Ningrat) gara–gara adu jangkrik. Mangkuningrat marah dan menyuruh membunuh
Ronggo Stoto, ternyata Ronggo Setoto sangat kebal terhadap senjata maupun batu.
Ranggo Setoto terus disiksa, akhirnya menunjukkan rahasianya yaitu dengan
mengalungkan benang tenun (lawe)
sehingga tewas dimakamkan di Luganta (Rogojampi). Ketika tewas terdengar suara
bahwa kelak akan membalas kekalahannya (Winarsih, 1980).
Diperkirakan peristiwa mengerikan ini terjadi
pada perkiraan tahun 1739 M. Terbunuhnya Patih Ronggo Setoto inilah menjadikan
awal bencana yang akan menimpa kerajaan Blambangan dan juga keluarga kerajaan
Jembrana khususnya keluarga raja Mangku Ningrat serta keluarga Puri Agung
Jembrana. Begitu juga melalui bencana ini pula yang akan memulai sejarah
berdirinya Pura Majapahit di Desa Pakraman Baluk.
Perlakuan yang sewenang–wenang sehingga
terbunuhnya Temenggung Ronggo Setoto ini diketahui oleh Pangeran Wong Agung
Wilis. Selaku penasehat raja, maka Pangeran Wong Agung Wilis memberikan saran
kehadapan raja Mangku Ningrat, demi keselamatan daerah kerajaan Macan Putih
maka diusulkan dan dinasehatilah Mangku Ningrat agar menghadap kepada raja
Mengwi untuk meminta pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh
Mangku Ningrat kepada Ronggo Setoto. Karena jika saran ini tidak segera dilaksanakan
maka Pangeran Wong Agung Wilis sangat yakin peristiwa ini akan berdampak buruk
bagi kelangsungan hubungan kedua kerajaan, yaitu kerajaan Mengwi dan kerajaan
Blambangan.
Hasil Wawancara dengan informan Wenen (Wawancara
04 Februari 2011) memberikan keterangan bahwa pangeran Wong Agung Wilis dalam
keberadaannya sebagai Purohita (penasehat
kerajaan) di kerajaan Blambangan pada dasarnya segala pendapat dan usul yang
selama ini telah ia berikan kepada raja Mangku Ningrat sering tidak dapat
diterima oleh Mangku Ningrat, walaupun pada dasarnya mereka terikat tali
persaudaraan, dengan kata lain antara pemikiran Wong Agung Wilis dan Mangku
Ningrat sering bersebrangan, kenyataan itu didasari oleh bentuk kepribadian
yang selalu berbeda.
Kenyataan–kenyataan itu ternyata terjadi pula
pada saran yang diberikan oleh Wong Agung Wilis kali ini. Raja Mangku Ningrat
menanggapi usul Wong Agung Wilis dengan kemarahan dan murka sehingga berlanjut
kepada tindakan pengusiran Wong Agung Wilis selaku Purohita dari kerajaan Blambangan. Kecewa maksud baiknya Wong Agung
Wilis ditolak bahkan ia diusir dari kerajaan Blambangan, maka berangkatlah Wong
Agung Wilis sendiri ke Mengwi untuk melapor perihal kematian Raden Ronggo
Setoto. Namun kali ini Wong Agung Wilis tidak menyempatkan diri untuk singgah
di Puri Gede Jembrana, kepada Anak Agung Ngurah Jembrana atau wakilnya Anak Agung Made Ngurah sebagai
petugas pengawas keamanan di daerah Malar–Blambangan untuk menyampaikan berita
duka terbunuhnya Ronggo Setoto.
Kepergian Wong Agung Wilis ke Mengwi (Bali), maka
raja Mangku Ningrat selalu gelisah, khawatir, ketakutan dan ia berusaha meminta
pertolongan kepada kompeni Belanda atau VOC, tetapi mereka tidak berkenan untuk
menolong. Menurut Winarsih (dalam Utomo, tt:4) Mangku Ningrat tidak hanya
meminta pertolongan kepada kompeni Belanda dan VOC, tetapi ia juga meminta
bantuan kepada Gubernur Semarang dan Bupati Lumajang, hal ini tersurat dalam Babad Wilis pupuh ii.36-iii28 dan
vi.29-vii.4 sebagai berikut.
ii.36-iii.28/ Pangeran Pati (Mangku Ningrat/Danuningrat)
hendak berlindung kepada kompeni diantar oleh Bupati Prabalingga yaitu
Jayalalana ke Komendan Kompeni di Pasuruan. vi.29-vii.4/
Gubernur semarang menolak permintaan bantuan yang diharapkan oleh Pangeran
Pati dan dilarang menginjakkan kaki di
wilayah Kompeni, selanjutnya di terima oleh Bupati Lumajang yaitu Kertanegara
(Utomo, tt:4).
Berdasarkan Wawancara dengan informan Sutarma (Wawancara
28 Februari 2011) Sesampainya Wong Agung Wilis di kerajaan Mengwi, maka
dilaporkanlah perihal berita duka yang menimpa Patih kepercayaannya Ronggo
Setoto. Atas berita duka itu raja Mengwi terkejut dan tidak mampu mengontrol
diri akibat murkanya. Berdasarkan laporan Wong Agung Wilis, maka raja Mengwi
Memanggil raja Mangku Ningrat agar segera menghadap ke Mengwi dengan disertai
ancaman apabila tidak memenuhi panggilan ini maka akan di ambil tindakan
kekerasan. Sejalan dengan pendapat Sutarma, Winarsih (dalam Utomo, tt:4) yang
berdasarkan buku Babad Wilis viii.57-viii.63 dinyatakan pula bahwa Wong Agung Wilis sempat
diberikan kesempatan untuk menggantikan Mangku Ningrat sebagai raja di
Blambangan, adapun kutipannya sebagai berikut.
...Wong
Agung Wilis menolak tawaran Cokorda agung Mengwi untuk menjadi raja Blambangan
selama kakaknya masih hidup... untuk sementara Wong Agung Wilis disuruh
berkumpul dengan pamannya Bupati Kaba-Kaba... (Winarsih dalam Utomo, tt:4).
Sejak raja Mangku Ningrat mengetahui bahwa Wong
Agung Wilis telah melapor ke Mengwi, ia telah dihinggapi perasaan takut akan
akibat perbuatannya. Menurut keterangan informan Sutarma (Wawancara 04 Februari
2011) menyatakan bahwa sebelumnya raja Macan Putih sempat menolak ultimatum
raja Mengwi untuk menyerahkan diri ke Mengwi. Karena penolakan raja Macan Putih
tersebut, sehingga membuat raja Mengwi semakin murka dan berlanjut mengutus
Wong Agung Wilis kembali ke Blambangan untuk menyerang kerajaan Macan Putih.
Hal ini diperkuat pula dalam Babad Wilis
pupuh i;49 - ii;20 sebagai berikut.
Gusti
Agung Cokorda Mengwi (Bali) yang dipertuan oleh Blambangan (baca: Raden Wilis)
mengirim pasukannya untuk menangkap Tepasana (mertua Suta Wijaya) dan Suta
Wijaya (putra Mangku Ningrat) dengan peringatan bahwa pangeran Pati (Mangku
Ningrat) tidak boleh di sakiti. Di iringi oleh kepala pasukan Wilis dan diikuti
oleh separuh rakyat Blambangan, menyerbu secara mendadak. Suta Wijaya dan
Tepasana (patih Raja Mangkuningrat) melarikan diri. Pertempuran terjadi,
pangeran Pati meninggalkan ibu kota dan memerintahkan pasukan–pasukannya untuk
mundur dari medan perang. Tepasana yang membubarkan pasukannya dan membawa lari
senjata dan tombak–tombaknya (Winarsih, 1980:4).
Melihat kemurkaan raja Mengwi dan semakin
menyadari akan kesalahannya, maka raja Mangku Ningrat mempersiapkan diri untuk
segera menghadap ke Mengwi. Menurut Utomo (tt:7) berdasarkan Babad Tawang Alun dalam rangka keberangkatan Mangku Ningrat ke Mengwi
sebelumnya beliau sempat mendatangi adiknya Wong Agung Wilis yang telah berada
di Blambangan pasca penyerangan kerajaan Macan Putih atas perintah raja Mengwi.
Didatanginya Wong Agung Wilis oleh Mangku Ningrat adalah dengan tujuan agar
Wong Agung Wilis bersedia mengantarkan ke Puri Mengwi, namun diperkirakan Wong
Agung Wilis tidak berkenan untuk menghantarkannya. Adapun kutipan Babad Tawang Alun vii:27-35 tersebut adalah sebagai berikut.
Raja
Klungkung dan raja Mengwi mendengar berita kematian Ronggo Setoto dan segera
memanggil Danu Ningrat/Mangku Ningrat ke Bali, Danu Ningrat takut dan minta
didampingi oleh adiknya Wong Agung Wilis yang akhirnya beliau di bunuh di Seseh (Utomo, tt:7).
Selanjutnya Utomo (tt:5) menyatakan dalam
rangka persiapan keberangkatan raja Macan Putih ke Mengwi maka datanglah Gusti
Ngurah Kaba–kaba bersama Si Kutha Bathah yang merupakan utusan raja Mengwi guna
memperingatkan kembali raja Mangku Ningrat untuk segera ke Puri Mengwi
(mengenai Si Kutha Bhatah dan Gusti Ngurah Kaba–Kaba tidak ada keterangan lebih
lanjut). Pada bagian yang sama Tim Penulis (1998:4) juga menyatakan bahwa dalam
rangka keberangkatan Baginda Mangku Ningrat ke Mengwi, beliau mengajak pula
keluarga (anak dan istri). Istrinya bernama Nawang Sasi, dengan maksud dan
harapan mudah–mudahan mendapat simpati dan pengampunan dari raja Mengwi.
Mencermati pernyataan Tim Penulis, namun memilki
sedikit perbedaan dengan pendapat Utomo (tt:4) bahwa dalam Babad Wilis pupuh ii,2-ii,36 dinyatakan istri, anak–anaknya bersama
para sentana raja Mangku Ningrat tidak bersamaan berangkat ke Mengwi, akan
tetapi menyusul kemudian, setelah kerajaan Blambangan sempat dirusak kembali
oleh pasukan Bali. Namun untuk diketahui dan sebagai penegasan bahwa
sesampainya di Puri Jembrana, raja Mangku Ningrat telah bergabung bersama
dengan istri dan anak–anaknya (Subandi, 1984:7).
Berkaitan
dengan pernyataan tersebut, lebih lanjut menurut penuturan informan Wenen (Wawancara
28 Januari 2011) dalam keberangkatan raja Mangku Ningrat ke Mengwi, beliau juga
mengajak sejumlah pengiring yang agamanya sudah bercampur antara Hindu dan
Islam (suku/etnis Using Banyuwangi).
Hal ini didukung pula atas penuturan informan Sutarma (Wawancara 16 Februari
2011) bahwa pengiring raja Mangku Ningrat dalam perjalanannya ke Mengwi
tergabung antara umat Islam dan Hindu, yang diperkirakan berjumlah ± 40-60
orang.
Selanjutnya, dalam perjalanan menuju Mengwi
rombongan berlabuh di pantai Purancak (Desa Purancak sekarang) karena bertujuan
akan singgah dulu di Puri Gede Jembrana. Dalam pertemuan dengan raja Jembrana
yang pada saat itu dijabat/diwakili oleh Anak Agung Made Ngurah. Kedatangan
Mangku Ningrat raja Macan Putih bersama keluarga dan pengiringnya disambut dan
diterima dengan sebaik-baiknya, dan Anak Agung Made Ngurah menanyakan tentang
perihal serta keperluan raja Macan Putih datang ke Bali, sehingga raja Mangku
Ningrat menjelaskan bahwa dirinya mendapat panggilan dari Cokorda raja Mengwi
untuk menghadap. Mangku Ningrat mengungkapkan rasa takut untuk menghadap ke
Mengwi karena merasa ada firasat akan mendapat malapetaka dan berharap dengan
hormat agar Anak Agung Made Ngurah berkenan mengantarkannya, namun Mangku
Ningrat tidak menjelaskan peristiwa kematian Patih Ronggo Setoto yang merupakan
latar belakang pemanggilannya.
Walaupun Mangku Ningrat terus membujuk Anak Agung
Made Ngurah untuk bersedia mengantarkannya untuk menghadap Cokorda raja Mengwi
namun anehnya Anak Agung Made Ngurah tidak memenuhi permintaan raja Macan
Putih, akan tetapi beliau memberikan sejumlah pengiring dibawah pimpinan Pan
Tabah (Parekan/parjurit andalan Puri
Gede Jembrana). Berhubung Anak Agung Made Ngurah benar–benar tidak mengetahui
tentang peristiwa terbunuhnya Tumenggung Ronggo Setoto walaupun sebagai petugas
keamanan daerah Malar-Kabat dan berhubung pula Pangeran Wong Agung Wilis
langsung melaporkan peristiwa terbunuhnya Ronggo Setoto ke Mengwi dan tidak
singgah di Jembrana maka dianggap jujur keterangan raja Mangku Ningrat, dan
yang lebih tidak membuat kecurigaan apapun dari Anak Agung Made Ngurah, yaitu
dengan bersama-sama keluarga.
Berdasarkan Wawancara dengan informan Suarem (Wawancara
28 Januari 2011) Anak Agung Made Ngurah menyarankan kepada Mangku Ningrat agar
segera berangkat dengan sebelumnya disertai sumpah/perjanjian di dalam Pemerajan antara Anak Agung Made Ngurah
dengan Mangku Ningrat. Adapun isi dari sumpah itu “apabila raja Macan Putih
beserta keluarga mendapat malapetaka korban jiwa di Mengwi, maka Anak Agung
Made Ngurah dengan lascarya (iklas)
akan ikut mati sebagai rasa kesetiaan terhadap persahabatannya”. Begitulah
akrabnya persahabatan antara Anak Agung Made Ngurah dengan raja Mangku Ningrat.
Atas perjanjian ini puaslah raja Macan Putih dan merasa dirinya telah didukung
secara moril oleh Anak Agung Made Ngurah, lalu bersama keluarga serta diiringi
oleh pasukan dari Puri Jembrana yang dipimpin oleh Pan Tabah berangkatlah
Mangku Ningrat ke Mengwi.
Sesampainya raja Mangku Ningrat/Macan Putih sekeluarga
dan rombongan di kerajaan Mengwi, maka diterima sebagaimana mestinya di Puri
Agung. Penguasa kerajaan Mengwi pada saat itu dijabat oleh I Gusti Agung Made
Kemasan dari Sibang, berhubung raja Mengwi Cokorda Made Munggu pada saat itu
telah wafat dan putra mahkota beliau masih kecil (Cokorda Mbahiun). Oleh sebab
itu permasalahan Mangku Ningrat sepenuhnya diadili oleh I Gusti Made Kemasan.
Pada akhirnya dalam proses persidangan perkara
Mangku Ningrat, segala kesalahan dalam pembunuhan Tumenggung Ronggo Setoto di
Blambangan telah diakui oleh Mangku Ningrat dan disertai dengan mohon
pengampunan, namun keputusan hukuman mati dijatuhkan kepadanya, karena hutang
jiwa harus dibayar dengan jiwa pula. Akhirnya hukuman mati diterima oleh Mangku
Ningrat, dengan disertai permohonan agar keluarganya tetap hidup. Namun
tragisnya, permohonan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh I Gusti Made Kemasan,
artinya permohonan raja Macan Putih ditolak dan hukuman mati bagi seluruh
keluarga Mangku Ningrat tetap dilaksanakan. Adapun tempat pelaksanaan hukuman,
yaitu bertempat di Seseh (daerah Kuta sekarang). Sebelum Mangku Ningrat
meninggal beliau sempat mengucapkan kutukan kepada raja Mengwi karena telah
menghukum mati anak dan istri yang tidak ikut berdosa.
Peristiwa terbunuhnya raja Mangku Ningrat ini
dibenarkan pula oleh Utomo (tt:4-5) yang menyatakan bahwa sebelum beliau
dibunuh, beliau sempat diasingkan di Desa Tegal Belungbungan. Raja Mengwi
melarang rakyat mengunjungi Desa Belungbungan atau berdagang kesana. Gusti
Agung Kemasan Dhimade diketahui oleh raja Mengwi telah secara diam–diam memberi
makan kepada Mangku Ningrat sekeluarga dan pengikutnya. Setelah mengetahui hal
tersebut raja Mengwi memerintahkan Mangku Ningrat agar dipindahkan ke Munggu.
_______________________________________________________________
Catatan:
Menurut Babad Wilis dari Kraton Mengwi 1250 Caka= 1598 M, yang di kutip
oleh Slamet Utomo ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masa-masa
pengasingan Mangku Ningrat di Kaba-Kaba.
Utama Mandala Pura Majapahit Kabupaten Jembrana |
- Waktu di Pura Hyang Api
Pangeran Mangku Ningrat sempat
membakar jagung dalam sarungnya, dengan itu menunjukkan
kesaktiaannya, maka dengan alasan
kesaktian Mangku Ningrat tersebutlah para pengiringnya bersemangat ingin
menyerbu Kaba-Kaba namun dilarang oleh Mangku Ningrat dan menenangkan
mereka. Untuk memperingati peristiwa tersebut dibangunlah Pura yang
bernama Pari Purna di Kaba-Kaba (Pari Purna bermakna kesempurnaan akibat
ketenangan dan keheningan).
- Sebelum hukuman dijatuhkan, ada tiga pengikut beserta keturunan Mangku Ningrat yang ternyata ditunjuk oleh Mangku Ningrat sendiri untuk menyebar ke Desa lain dalam rangka menyelamatkan diri (tidak dijelaskan siapa orang-orang tersebut dan ke desa mana)-
- Waktu di Seseh, Mangku Ningrat diberi makan secara tersembunyi oleh I Karsi. Melalui I Karsi, Pangeran Mangku Ningrat menghadiahi Gusti Agung Dhimade beberapa benda pusaka, sebilah keris Sri Jati, Keris tersebut bernama I Baru Sangkali, Tombak Si Barong, Cincin Manduka Ijo, tempat Sirih dan rumahnya di tanah ayu.
Dijelaskan pula para pengikut/pengiring raja
Mangku Ningrat terkesan ingin menyerang ke Kaba–Kaba dengan alasan tidak terima
atas perlakuan raja Mengwi kepada junjungannya, namun Mangku Ningrat melarang
karena akan membahayakan serta mencoba menenangkan mereka.
Berkaitan dengan masa–masa terakhir raja Mangku
Ningrat di dalam tahanan Mengwi, menurut Babad
Mengwi-Lambing:51-2 (dalam Nordholt, 2009:119) menyatakan “saat itu wabah
penyakit melanda Mengwi dan bencana tersebut disalahkan pada Mas Sepuh/Mangku
Ningrat. Meskipun kelihatannya Mangku Ningrat tidak begitu setia kepada raja, babad itu tidak menekankan kesalahannya.
Dinasti Mengwilah, bukannya Mangku Ningrat yang melakukan kesalahan”.
Lebih lanjut, sebelum ke Desa Seseh, pangeran Mas
Sepuh/Mangku Ningrat selaku seorang pemimpin masih sempat memberikan nasehat
kepada mereka yang akan ditinggalkannya. Adapun nasehatnya yaitu “hendaknya
kalian semua (pengiring raja Macan Putih) tetap setia kepada kebangsawanan
leluhur, sebab disanalah kebahagiaan itu dan akan bebas dari marabahaya”. Keesokan
harinya penduduk Munggu dan Seseh datang untuk membunuh raja Mas Sepuh/Mangku
Ningrat beserta keluarga (para pengiringnya tidak ikut serta mendapat hukuman
mati) di pantai Seseh.
Pada bagian lain, menurut Nordholt (2009:119)
menyatakan sekaligus mempertegas bahwa setelah beberapa waktu berlalu raja
Mengwi pura–pura mengijinkan Mangku Ningrat kembali ke Blambangan sebagai orang
bebas. Penguasa dari Puri Sibang dan seorang Mekel dari Desa Munggu merupakan pendampingnya. Tetapi sesampainya
di pantai Seseh, Mangku Ningrat dibunuh. Sehingga sebelum meninggal, pangeran
Mas Sepuh/Mangku Ningrat mencabik–cabik destarnya dan mengutuk kedua Puri,
yakni Mengwi dan Sibang serta berucap “seperti destar ini akan tercabik–cabik pula
oleh musuh hingga keturunannya termasuk raja Mengwi”. Bertalian dengan
terbunuhnya raja Macan Putih, ternyata salah satunya berakibat telah melemahnya
kekuasaan Mengwi di Blambangan, yaitu sekitar tahun 1771 M pengaruh Mengwi
akhirnya terusir atas Blambangan. Karena tidak mampu melawan pasukan VOC yang
telah berkuasa dengan senjata meriam–meriamnya.
Setra/kuburan raja Macan Putih beserta anak istri
hingga kini sangat dikeramatkan baik oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat
yang sering datang untuk berziarah disana. Menurut Heyting dan Candrawati
(dalam Nurdholt, 2009:120) sesudah kematian Mangku Ningrat, dua tugu peringatan
didirikan untuknya di Seseh. Bangunan yang pertama adalah kramat, sebuah
kuburan suci (menurut agama Islam) berisikan tubuh Mangku Ningrat. Bangunan yang
kedua adalah sebuah Pura, didirikan
didekatnya, Pura Mas, atapnya
mempunyai Meru yang terdiri dari
sebelas atap, sama dengan Meru yang
dipersembahkan bagi para Dewa gunung, untuk menghalau kutukan Mangku Ningrat.
Diperkirakan tahun 1925 orang Bali yang ditugaskan menjaga kuburan Mangku
Ningrat tersebut dilarang memakan daging babi. Tugas pemeliharaan Pura tersebut sampai sekarang menjadi
tanggung jawab Puri Sibang.
Terkait terjadinya kutukan raja Macan Putih yang
sangat berpengaruh terhadap keberadaan Puri Mengwi dan Puri Sibang, diungkapkan
oleh Nurdholt (2009:120-122) bahwa:
Kutukan
Mas Sepuh/Mangku Ningrat menggema dalam sejarah Mengwi sampai akhir abad 19 dan
menandai berakhirnya suatu masa ekspansi dan awal dari masa kemunduran dan
krisis. Karena Mengwi mendapat perlawanan dari bagian timur. Di Karangasem
sebuah dinasti kuat sedang tumbuh dan telah berhasil menaklukkan Lombok selama
abad ke-18 ini, sebagian besar Buleleng yang menjadi kekuasaan Mengwi telah di
ambil alih. Akhirnya dinasti Mengwi tidak dapat lagi mempertahankan satelit
daerah di bagian utara; radius jangkauan kerajaan pusat telah menyusut. Pada
dekade awal abad-19 dinasti Mengwi mengalami kemunduran–kemunduran: dinasti ini
kehilangan kontrol atas pelabuhan–pelabuhan di Jembrana, karena telah dikuasai
oleh dinasti tetangga dibagian selatan, yakni Badung pada tahun 1804. Mereka
dibantu oleh orang–orang Bugis yang telah memiliki pusat perdagangan di Badung.
Pada masa–masa perang, orang–orang bugis inilah dikirim kebarisan depan dari
tentara Badung. Dinasti Mengwi terus mengalami kekalahan dan kehilangan bukan
hanya dibagian barat dan utara: tidak beberapa lama Mengwi juga mendapat
ancaman dari daerah bagian selatan. Anak Ngurah Made Agung baru saja mulai
memerintah, ketika ditahun 1809-1810, pasukan Badung menyerbu daerah kekuasaan
Puri Sibang. Pada masa pemerintahan Ayu Oka, ketika Padangluah diserbu, pasukan
Badung berhasil dihalau, namun sekarang Mengwi tidak mampu membantu
negara–negara bagiannya. Puri Sibang dibiarkan begitu saja; dan dimotori oleh
prajurit upahan Belanda pasukan Badung menang. Pukulan yang menghantam dinasti
Mengwi terjadi melalui berbagai cara. Pertama, sekali lagi Badung menunjukkan
bahwa dia tidak menganggap dirinya sebagai bawahan raja Mengwi lagi, sehingga
wilayah negara Mengwi menjadi sungguh–sungguh terkikis. Kedua, dengan hilangnya
negara–negara bagian yang terpencil berarti dinasti Mengwi tidak lagi menguasai
berbagai pelabuhan laut, sehingga Mengwi kehilangan akses langsung terhadap
perdagangan antarpulau. Ketiga, serangan Badung terhadap kerajaan Sibang pada
tahun 1809-1810 agar menyetujui penggalian sebuah saluran tambahan yang
mengalirkan air dari sungai Ayung kedaerah persawahan di Badung. Selanjutnya
dinasti Mengwi dihadapkan dengan kehilangan Pura
laut di Jimbaran. Pura Ulun Suwi
yang penting bagi pertanian terletak di ujung semenanjung Badung dan merupakan
ujung selatan dari “poros upacara” negara Mengwi. Dinasti Badung menjadi raja
dan penguasa di daerah tersebut dan menolak akses dinasti Mengwi ke Pura Laut tersebut. Ini berarti bahwa
daur upacara dari gunung menuju pusat dan laut kemudian kembali lagi terputus.
Terlepas dari kutukan Mangku Ningrat, sehingga
atas terjadinya peristiwa terbunuhnya raja Mangku Ningrat tersebut di Seseh,
maka Pan Tabah serta rombongan pengiring raja Macan Putih dengan tergesa–gesa
setelah mendapat ijin kembali ke Jembrana untuk memberi laporan. Bagi rombongan
pengiring raja Blambangan maupun pengiring dari kerajaan Jembrana, tentunya
tragedi yang menimpa raja Mangku Ningrat merupakan pukulan bhatin yang amat
berat sehingga membuat perasaan sedih yang amat dalam. Begitu pula dengan Pan
Tabah selaku pimpinan rombongan merasa memiliki tanggung jawab berat untuk
melaporkan berita duka di Mengwi kepada Anak Agung Made Ngurah junjungannya.
Setibanya di Puri Jembrana, Pan Tabah pun segera
menghadap junjungannya, yang kebetulan sedang duduk– duduk santai diatas sebuah
batu besar di taman kerajaan, batu besar tersebut merupakan tempat beliau duduk
sehari–hari. Berpakaian kebesaran raja serta di punggung beliau terselip keris
pusaka (Padjenengan) Puri yang
bernama Tatasan yang merupakan hadiah
raja Mengwi Cokorda Nyoman Alang Kajeng kepada Ida Agung Ngurah Jembrana, raja
Jembrana I.
Pan Tabah beserta rombongan dipersilahkan masuk
kedalam ruangan Puri serta memanggil Pan Tabah untuk menghadap guna dimintai
keterangan tentang raja Macan Putih/Mangku Ningrat. Dengan diawali dengan
sembah dan sumpah, Pan Tabah melaporkan tragedi yang menimpa Mangku Ningrat di
Mengwi dengan sejujur–jujurnya, bahwa beliau telah wafat beserta keluarganya
dan mayatnya ditanam di Desa Seseh. Mendengar berita duka tersebut, tentunya
membuat Anak Agung Made Ngurah terkejut dan bersedih. Dalam kesedihan yang
begitu dalam, beliau teringat akan sumpahnya bersama Mangku Ningrat di Pemerajan, bahwa beliau akan ikut mati
dengan iklas jika terjadi malapetaka terhadap Mangku Ningrat beserta keluarga.
Anehnya sampai saat itu Anak Agung Made Ngurah
belum mengetahui dasar kesalahan raja Macan Putih bersama keluarga sehingga
mereka dikenakan hukuman mati. Menurut Subandi (1984) setelah menenangkan
pikiran, lalu memerintahkan Pan Tabah menghunus keris Tatasan yang diselipkan di pinggangnya agar ditikamkan kepunggung
beliau. Pan Tabah sebagai seorang parekan
tidak mampu berbicara apa–apa, serta dengan memberanikan diri dan setelah
melalukan sembah terakhir, Pan Tabah kemudian mematuhi perintah dan
melaksanakannya. Setelah Pan Tabah menikamkan keris Tatasan ke punggung Anak Agung Made Ngurah, darah segarpun
bercucuran yang membuat Pan Tabah merasa bersalah dan bersedih, kemudian keris Tatasan diterimakan kembali ke tangan
Anak Agung Made Ngurah yang telah menjelang tidak sadarkan diri dan akhirnya
wafat seketika dengan perut berlumuran darah dan tangan menggenggam keris
terhunus.
Melihat kejadian itu, oleh Parekan–parekan yang menghadap dan tidak mengetahui latar belakang
permasalahannya, sehingga Pan Tabah diserang dan dipukuli secara bersama-sama,
hingga Pan Tabah pun lari kearah tenggara Puri Jembrana yang dikejar oleh para
parekan Puri, hingga sampai disebuah daerah (Tegal Cankring), dan didaerah
itulah Pan Tabah dibunuh seperti Celeng
(Babi). Berdasarkan Wawancara dengan informan Wenen (Wawancara 04 Februari 2011) dari latar belakang tersebut
maka daerah tempat terbunuhnya Pan Tabah hingga sekarang diberi nama Desa
Pecelengan. Kekacauan ini akhirnya diketahui oleh raja Anak Agung Ngurah
Jembrana dan memerintahkan agar jangan sampai mengorbankan jiwa keluarga Pan
Tabah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1764 M.
Mungkin sudah menjadi phala dari karma serta titah Sang Hyang Widhi Wasa atas
malapetaka yang menimpa Anak Agung Made Ngurah dan Pan Tabah, karena berselang
tiga harinya kemudian datanglah Raden Wong Agung Wilis/Pangeran Wilis dari
Malar/Blambangan untuk menghadap Anak Agung Ngurah Jembrana dalam rangka
melaporkan tentang peristiwa adu jangkrik yang berujung terbunuhanya Raden
Tumenggung Ronggo Setoto oleh raja Mangku Ningrat, tapi apa daya semua telah kasep (terlambat), karena korban jiwa
sudah berjatuhan di Puri Jembrana yaitu Anak Agung Made Ngurah dan parekan Pan Tabah.
Kebenaran yang disampaikan oleh Wong Agung Wilis
kepada Anak Agung Ngurah Jembrana membuat beliau dan para parekan Puri Jembrana serta masyarakat mengetahui sebab–sebab
terjadinya korban jiwa yang telah berjatuhan, sehingga tidak dapat dipungkiri
seisi Puri Jembrana menjadi dihinggapi rasa bersalah, sedih dan penuh rasa
penyesalan karena berujung pada pengeroyokan parekan kepercayaan Anak Agung
Made Ngurah yaitu Pan Tabah.
Setelah wafatnya raja Macan Putih/Mangku Ningrat
di Mengwi (pantai Seseh), Wong Agung Wilis membentuk kerajaan baru yang
berkedudukan di Baju/Bayu-Longgan/Rogojampi-Banyuwangi yang disebut kerajaan
Kedhawung yang juga masih termasuk daerah Blambangan. Samsubur (2005:66-67)
menyatakan bahwa Raden Wong Agung Wilis akhirnya wafat di Bali sebelum tahun
1780 M setelah sempat melakukan pemberontakan terhadap VOC dengan slogan
keperkasaannya “Atunggu Zarating Kaki” yang
berarti “bahwa Pangeran Wilis akan mempertahankan dan mengawal tanah tumpah
darah warisan leluhurnya sampai kapanpun” karena negeri Blambangan adalah
negeri haknya bukan VOC. Adapun kutipannya sebagai berikut.
…Setelah
sempat menghancurkan benteng VOC dengan komandannya pada saat itu adalah
Adrianus Van Rieck pada tanggal 02 Maret 1768, penyerangan oleh Pangeran Wilis
yang didukung pula oleh Bupati Blambangan Ki Mas Bagus Anom dan Ki Mas Weka
yang sebelumnya sempat menjadi Bupati kepercayaan VOC, penyerangan itu berpusat
di kota Lopangpang/Ulupangpang..., Pada tanggal 18 Mei 1768 M VOC menyerbu
pertahanan Pangeran Wilis di Kutha Loteng. Pangeran Wilis berhasil
menyingkir ke Dusun Blimbing Sari
(terletak antara Banyualit–Kutha-Loteng)…. Kemudian karena dihianati oleh Mas
Weka/Uno, Pangeran Wilis berhasil ditangkap oleh serdadu VOC. …Pangeran Wilis
akhirnya dikirim kedepot tahanan politik di pulau Edam/Damar di kepulauan
Seribu, Teluk Jakarta. Semula Pangeran Wilis direncanakan dikirim ke Kaap de Goed Hoop (Tanjung Harapan Biak)
Afrika Selatan. Namun (apa penyebabnya Wong Agung Wilis batal di kirim ke
Afrika Selatan) akhirnya beliau dikirim ke pulau Banda/Maluku. Akan tetapi pada saat di penjara Belgica di Banda kepulauan Seram, Pangeran Wilis dapat melarikan
diri. Dari pulau Seram ini beliau dapat mencapai pulau Bali. Di pulau Bali ia
meninggal sebelum tahun 1780 M….
Selanjutnya masih pada tahun 1764 M, demikian
pula halnya rombongan rakyat pengiring dari Blambangan yang menjadi pengiring almarhum raja Macan Putih
tidak dapat dibayangkan betapa beratnya menanggung kepedihan jiwa, karena dihadapan
mata mereka raja junjungan beserta keluarga berjatuhan baik yang berdosa maupun
yang tidak berdosa. Berdasarkan keterangan informan Murjani (Wawancara 04
Februari 2011) menyatakan, perlu untuk diketahui bahwa:
Rombongan
pengiring raja Macan Putih ke Mengwi tersebut adalah pengiring yang sangat
disayangi/kesayangan raja, oleh sebab itulah para pengiring raja tersebut memiliki gelar khusus dimata raja, yaitu
bergelar “Permas” atau yang berarti
“kesayangan raja, anak kesayangan”, yang hingga kini tidak sedikit masih dapat
dilihat melalui nama keturunannya pengiring yang berada di Desa Pakraman Baluk yang masih menggunakan
nama dengan awalan kata “Mas”.
Hal ini dapat dikaitkan dengan pernyataan Sudjana
(2001:36) bahwa “Keturunan dinasti Tawangalun (leluhur raja Mangku Ningrat)
memerintah Blambangan sejak sekitar permulaan abad ke-17. Keturunan
laki–lakinya menggunakan gelar mas,
sedangkan untuk perempuan mas ayu.
Ini berlaku untuk keturunan yang lahir dari selir maupun permaisuri. Gelar ini
mengidentifikasikan status dan menempatkannya pada puncak susunan masyarakat
waktu itu”. Sehingga melalui pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa
pemikiran raja Mangku Ningrat kiranya didasari dengan alasan bahwa kesetiaan,
pengorbanan atas pengabdian para prajurit pengiring Mangku Ningrat ke Mengwi,
maka gelar kebangsawanan para dinasti raja tersebut patut dianugrahkan kepada
para pengiringnya.
Terlepas dengan prihal gelar tersebut, karena
dilatarbelakangi kesedihan dan tekanan bhatin, rombongan ini telah berketapan
hati untuk tidak kembali ke Jawa (Blambangan) dan menetap di Jembrana. Alasan
lain menetapnya para pengiring di Jembrana, didukung pula oleh Susanti dan Wati
(2008/2009:9) yang menyatakan bahwa: “(1) karena adanya suatu tekanan bhathin
setelah mereka menyaksikan sendiri tragedi yang menimpa para pemimpin mereka,
sehingga mereka memutuskan untuk menetap di Bali (Jembrana) dan tidak kembali
ke daerah asal mereka yaitu kerajaan Blambangan, (2) karena adanya rasa senasib
sepenanggungan antara para pengiring,
baik yang beragama Hindu maupun yang beragama Islam, maka mereka ingin selalu
bersama- sama (3) karena pada saat itu terjadi perang besar-besaran melawan
tentara kolonial Belanda di Blambangan.”
Bersama
dengan latar belakang tersebut, maka mereka akhirnya menetap dan menjadi cikal
bakal penduduk disuatu daerah yang bernama Banyu Biru (Desa Baluk sekarang).
Saiburrahman (tt:2) menjelaskan, setelah diberikannya tempat pemukiman
disebelah barat Puri Jembrana, para pengiring menemukan banyak sungai (Kali Akeh) di daerah tersebut. Sehingga
disebutlah daerah ini sampai sekarang dengan nama Desa Kaliakah.
Dikarena lokasinya kurang baik untuk dijadikan
pemukiman, sehingga untuk mencari lokasi yang lebih strategis, maka
perjalananpun dilanjutkan kembali kearah barat Kali Akeh. Di daerah inilah rombongan pengiring dari Blambangan itu
menemukan tempat bermukim. Karena kebutuhan manusia yang pertama salah
satunya adalah air, maka di daerah ini,
oleh para pengiring raja tersebut
tanahpun digali hingga keluar sumber air yang jernih berwarna kebiru–biruan.
Dengan peristiwa tersebut, maka daerah munculnya sumber air yang berwarna biru
ini dinamakan Banyu Biru atau yang
berarti air berwarna biru dan hingga sekarang tempat ini bernama Desa
Banyubiru.
Khususnya umat yang beragama Hindu, sebagai wujud
Sradha dan Bhaktinya kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, maka didirikanlah sebuah Pura, dan begitu juga dengan umat yang beragama Islam mendirikan Mushola (Masjid Nurul Amin sekarang). Sehubungan dengan pembagian dan
pemekaran wilayah di Kecamatan Negara, maka Pura
dan Masjid tersebut, yang dulunya
berada di Desa Banyubiru, sekarang menjadi wilayah Desa Baluk (Susanti dan
Wati, 2008/2009:7).
Berdasarkan Wawancara dengan Informan Wenen (Wawancara
04 Februari 2011) tanah daerah berdirinya Pura
Majapahit dan Masjid adalah tanah
pemberian Anak Agung Ngurah Jembrana (Raja Jembrana I). Pura ini disepakati oleh semua pengiring termasuk yang beragama
Islam yang juga ikut membantu dalam pendirian Pura, agar Pura ini diberi nama Pura
Majapahit. Lebih lanjut Wenen
menuturkan bahwa pada saat pendirian Pura
Majapahit diperkirakan sempat dihadiri oleh Raden Wong Agung Wilis. Hal ini
dapat diterima dengan alasan bahwa setelah terbunuhnya Anak Agung Made Ngurah
dan Parekan Pan Tabah, tiga hari kemudian Wong Agung Wilis datang ke Jembrana
(Puri Jembrana) untuk menyampaikan kebenaran latar belakang masalah yang
menimpa raja Macan Putih di Mengwi. Oleh karena itu, pada kesempatan
tersebutlah bertepatan dengan proses pendirian Pura Majapahit.
Menurut informan Suarem (Wawancara 28 Januari
2011) didirikannya Pura Majapahit selain sebagai tempat suci
untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa
juga merupakan tempat untuk memuja para leluhur/raja-raja dari kerajaan
Blambangan serta bermakna untuk mengenang eksistensi kerajaan Majapahit. Karena
menurut Tim Penulis (1998:4) menyatakan pemilihan nama Pura Majapahit itu didasari dengan pemikiran bahwa raja dan
kerajaan Blambangan masih ada hubungan secara vertikal (kekerabatan) dengan
kerajaan Majapahit, yaitu pada khususnya keturunan Dalem Juru raja Belambangan
ke I pada awal setelah masa pemberontakan kerajaan Blambangan oleh Arya Nambi
putra dari Arya Wiraraja. Dalem Juru adalah putra dari Mpu Kepakisan/Dhang
Hyang Kepakisan (Guru Spiritual Patih Gajah Mada) yang berasal dari Majapahit
dengan diwujudkan melalui pelinggih Meru
Tumpang Lima sebagai linggih Ida Bhatara Siwa yang merupakan sesuhunan kerajaan Majapahit dan Pelinggih Gedong Bata untuk linggih para Leluhur.
Pada bagian lain, selain alasan tersebut di atas,
Susanti dan Wati (2008/2009:9) menyatakan alasan pemberian nama “Majapahit”
pada Pura yang telah didirikan
tersebut, dikarenakan pula bahwa rombongan pengiring raja Macan Putih merupakan
keturunan dari masyarakat/penduduk asli Majapahit (Wong Majapahit). Namun dalam
hal ini, berkaitan dengan hubungan vertikal antara kerajaan Majapahit dan
kerajaan Blambangan didukung pula oleh Saputra (2007:52-60) dalam bukunya yang
berjudul “Memuja Mantra”. Adapun
kutipannya adalah sebagai berikut.
…nama
Blambangan yang sampai saat ini melekat dalam benak masyarakat Banyuwangi
tersebut berkaitan erat dengan nama sebuah kerajaan yang berdiri di wilayah
Banyuwangi dengan pusat pemerintahan di daerah Macan Putih (sekarang termasuk
wilayah kecamatan Rogojampi). Kerajaan Blambangan senantiasa menjadi ajang
rebutan pengaruh antara kerajaan Jawa dan Bali, sehingga ia sering menjadi
vasal kerajaan lain di Jawa dan Bali. Ketika Majapahit berkuasa, daerah
Blambangan dikuasai oleh kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, daerah itu
diserahkan kepada Arya Wiraraja, karena ia dianggap bayak berjasa kepada Raden
Wijaya. Setelah Arya Wiraraja meninggal, daerah itu kemudian diwariskan kepada
putranya yang bernama Arya Nambi, pada tahun 1316 Blambangan melakukan
pemberontakan kepada kerajaan Majapahit. Akan tetapi pemberontakan itu dapat
dipadamkan oleh Patih Gadjah Mada. Kemudian, Patih Gadjah Mada mengangkat putra
Dhang Hyang Kepakisan yang tertua, yakni Dalem Juru sebagai penguasa di
Blambangan. Setelah kerajaan Majapahit runtuh wilayah Blambangan menjadi ajang
rebutan kerajaan Bali, Pasuruan, dan
Mataram Islam….
Mendukung
pernyataan Saputra, dalam babad sira arya
kuthawaringin-kebontubuh dijelaskan pula sebagai berikut.
21/b Bali dengan segera menjadi junjungan rakyat Bali kemudian pada waktu merdhamasa, purnama bulan keempat (kapat)
disana Patih Gajah mada melantik putra–putranya Sri Kresna Wang Bang Kepakisan
setelah direstui oleh Raja Majapahit, diberangkatkan mereka masing–masing,
adapun yang tertua dijadikan Raja di Blambangan, putra yang kedua bertahta di
Pasuruan, yang ketiga seorang putri bertahta di Sumbawa, yang bungsu bertahta
di Bali, bergelar Dalem Ketut Kresna kepakisan, pada tahun saka. 22/a
‘yoganmunirwhaningbhwana’ (= tahun
1274 saka atau 3152 M)...., (Pengurus
Pusat Pasemetonan Pratisentana Sira arya Kuthawaringin-Kubontubuh, 2007:12-13).
Sejalan dengan pernyataan Saputra dan dalam babad sire kuthawaringin-kubontubuh di
atas, Mantik (2005:61) juga menjelaskan bahwasannya keturunan Dhang Hyang
Kepakisan merupakan cikal bakal
raja–raja Blambangan dan juga raja–raja di Bali. Adapun kutipannya sebagai
berikut.
…Bali
dan Blambangan diperintah oleh raja yang berasal dari leluhur yang sama, Dhang
Hyang Kresna Kepakisan, Brahmana Daha yang merupakan guru dari Patih Gajah Mada.
Beliau memiliki empat orang putra, putra tertua (Sri Juru Kresna Kepakisan)
dinobatkan sebagai raja Blambangan, sedang yang termuda (Dalem Ketut) menjadi
raja di Bali. Ketika Dalem Batu Enggong memerintah di Sukasada (Gelgel)
(1460–1552 M), yang memerintah di Blambangan adalah sepupunya (mindon bahasa Bali) Sri Juru Kresna
Kepakisan.
Lebih lanjut diceritakan, di daerah berdirinya Pura Majapahit tersebut dahulu tumbuh
kayu yang dipelihara menyerupai hutan guna tempat persimpangan Macan Putih (ancangan Ida Bhatara), dan
disekitar Pura Majapahit inilah
rombongan pengiring yang beragama Islam bertempat tinggal secara turun temurun
hingga sekarang. Menurut informan Wenen (Wawancara 28 Januari 2011) sejak
berdirinya Pura Majapahit yang
diperkirakan pada tahun 1764 M, telah mengalami pemugaran sebanyak dua kali,
yaitu pada tahun 1965 dan pada tahun 2006.
Berdasarkan Wawancara dengan informan Muhamad
Jahurrahman (Wawancara 31 Januari 2011)
hubungan antara umat Hindu dan Islam dari dahulu hingga sekarang terjalin
sangat baik dan kental yang tentunya dilandasi oleh rasa senasib dan
sepenanggungan para leluhur, sehingga hal tersebut yang menjadi salah satu
dasar toleransi umat Hindu dan Islam dalam keberadaan Pura Majapahit. Bagi mereka yang beragama Islam yang berada
disekitar Pura Majapahit hingga kini
masih ada sisa–sisa penggunaan bahasa Jawa Using.
Menurut Saputra (2007:xxxvi) Using berarti salah satu kelompok etnik yang mendiami dan menjadi
penduduk asli wilayah Banyuwangi. Istilah Using
berasal dari kata Sing (Tidak), yang
sering juga diucapkan Using, Osing
atau Hing. Secara historis, Lare Using atau Wong Banyuwangen adalah orang–orang yang tidak (Sing) turut mengungsi ketika terjadi
perang Puputan Bayu (1771-1772) di
Blambangan Banyuwangi. Jadi mereka tetap tinggal di wilayah ujung timur Jawa
Timur itu.
Sampai saat ini telah menjadi warisan para penyungsung di Pura Majapahit sebagai wujud toleransi beragama, bahwa setiap piodalan/pujawali (Upacara- Upakara) di Pura
Majapahit tidak diperkenankan
menggunakan ulam bawi (daging babi),
sehingga para pengempon dan penyungsung hanya menggunakan daging
ayam, bahkan dalam upacara Dewa Yadnya
pada tingkat Bebangkit yang biasanya
menggunakan daging babi, di dalam keberadaan Pura Majapahit hal itu tidak digunakan, yang digunakan sebagai
penggantinya adalah daging bebek/ayam, hal itu dilakukan mengingat dalam
keberadaan Pura Majapahit pada saat
itu terkait dengan umat Islam yang ikut
memelihara keberadaan Pura Majapahit
hingga saat ini (bersifat insidental). Umat Islam dari sejak berdirinya Pura Majapahit hingga sekarang (beberapa
umat Islam) pada hari–hari tertentu sering menghaturkan bhakti di Pura Majapahit
sesuai dengan adat dan cara mereka masing–masing.
Berdasarkan Wawancara dengan informan Murjani (Wawancara
31 Januari 2011) dijelaskan bahwa beliau yang selaku umat Islam juga sangat
menghormati leluhur yang distanakan di Pura
Majapahit, beliau mengatakan pada hari–hari tertentu dahulu leluhurnya
sering pula menghaturkan kidung–kidung Jawa Using,
yang disebut kidung Rengganis (Rengganis adalah
seorang Dewi dalam dongeng Joko Wulur masyarakat suku Using Banyuwangi), namun kidung rengganis saat ini sudah tidak digunakan
lagi. Lebih lanjut Murjani mengungkapkan bahwa di tahun 1930 kakek beliau yang
bernama Sutiah yang sudah menganut agama Islam pernah menjadi Pemangku di Pura Majapahit.
Itulah riwayat singkat dari keberadaan Pura Majapahit yang berada di Desa Pakraman Baluk Kecamatan Negara
Kabupaten Jembrana yang kesakralannya sangat dihormati, baik dari umat Hindu dan
Islam di daerah setempat maupun diluar daerah.
Matur Suksma
Semoga Bermanfaat bagi generasi muda Jembrana….
Keterangan:
Tulisan di atas "Sejarah Majapahit" adalah bagian dari kutipan hasil penelitian (Skripsi) pada Tahun 2011 di Pura Majapahit, yang berjudul "Toleransi Beragama di Pura Majapahit".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar