Spirit Warna Putih Kuning
“Berkibarnya Bendera Kemerdekaan”
Dewasa
ini jika diperhatikan dengan cermat, banyak sudah diantara kita sebagai umat
Hindu di Bali melihat sarana ritual dengan pengertian yang biasa-biasa saja. Terutama
para remaja Hindu yang datang ke sebuah tempat suci dalam melakukan ritual,
kecenderungannya hanya merasa membutuhkan pada bagian sembahyang sebagai
kewajiban saja—tidak lebih. Selain tidak ada dorongan dari dalam diri untuk
mengetahui makna dari begitu banyaknya sarana ritual, peluang dan ruang untuk
bertanya lebih sering dikorbankan kepada penampilan barang-barang elektronik.
Padahal kita mengetahui bahwa semua sarana upacara dalam Hindu mengandung makna
filosofis yang sarat dengan unsur dan tujuan pendidikan. Tetua Bali dahulu
telah menyediakan begitu banyaknya hari
suci Hindu, dengan begitu banyaknya sarana upacara bukanlah semata-mata berniat
untuk membebani anak dan cucu-cucunya di masa depan. Sungguh tidak demikian!!!.
Ada banyak pesan-pesan suci di dalamnya. Ada banyak taburan mantra-mantra Veda
dalam semua simbol-simbol ritual Hindu—guna menjalani kehidupan di dunia sekala
maupun niskala dengan baik. Harapannya adalah, melalui pesan-pesan suci itu
manusia Hindu menjadi kaya dengan nilai-nilai moralitas yang baik dan
terjaganya sumber daya manusia yang unggul.
Warna
Putih Kuning pun demikian. Kedua warna ini sering mendominasi dalam setiap
ritual Hindu di Bali. Warna putih dan kuning selalu berada berdampingan—terasa
sulit melihat hilangnya salah satu warna dalam setiap ritual. Seolah-olah ada
semacam rajutan yang tidak terlihat oleh mata jasmani di balik keberadaan dua
warna ini. Kita pun harus percaya bahwa dari dahulu kala, Tetua Bali memang
sering menyimpan berlian yang bersinar di dalam setiap simbol-simbol. Baik
simbol-simbol itu berupa kata-kata, tindakan maupun benda. Ini pun bukan
berarti tetua Bali sangat pelit. Tidak!!! Harus ada kehendak dari diri kita
untuk membuka—membutuhkan kehendak untuk membuka diri dalam memahaminya sebagai
kesungguhan adalah pesannya. Hanya dengan kesungguhan berlian itu akan bermakna
bagi setiap orang. Jika hanya biasa-biasa saja kehendak kita, maka berlian itu
tidak lebih tampak seperti kotoran binatang yang mengganggu indera penciuman
saja.
Oleh
karena itu, tidak perlu lagi menciptakan simbol-simbol baru. Matahari telah
bersinar setiap hari, kita hanya membutuhkan upaya sedikit saja untuk membuka
jendela rumah agar merasakan hangatnya sinar itu. Sangat banyak para wisatawan
dari belahan bumi bagian barat menginginkan sinar berlian itu di Bali. Mereka
datang karena sinar yang menakjubkan itu. Kita pun tidak boleh melepaskan,
apalagi menjualnya untuk membeli atau menukar dengan budaya yang mereka bawa
dari barat. Rajutan absolute warna putih kuning adalah salah satu simbol yang menyimpan
berlian indah itu. Putih kuning sejatinya menyiratkan pesan bagi setiap manusia
dalam memahami hakikat hidup, kemudian mengetahui landasan dalam setiap gerak
berpikir, berkata dan bertindak dalam kehidupan.
Melihat Putih Kuning dari sejarah Nusantara….
Warna
putih kuning pada dasarnya berangkat dari sejarah Nusantara. Dalam sejarah
Nusantara kita pernah mengenal dua agama besar yang hidup harmonis dan rukun,
kedua agama ini adalah Shiva dan Budha. Agama Shiva diwakili dengan warna Putih
dan agama Budha diwakili dengan warna Kuning. Namun tidak ada maksud
diskriminasi dalam perbedaan kedua warna ini. Perbedaan kedua warna ini adalah
lambang yang berangkat dari filosofis masing-masing agama. Warna Putih berarti
kesucian—yang disebut suci adalah Shiva itu sendiri. Dalam pengertian ini
kesucian itu juga berada dalam diri setiap manusia sebagai Shiva-Atman.
Sedangkan warna kuning adalah simbol kebijaksanaan. Warna kuning berangkat dari
Sang Buddha sebagai simbol kebijaksanaan—simbol ia yang sudah terjaga, ia yang
sudah sadar akan kesunyataan di balik sesuatu di alam ini, ia yang mampu
mengendalikan musuh-musuh dalam dirinya melalui tapa yang tekun sehingga
kemuliaan hidup diraih; angkuh, serakah, kesombongan dan marah adalah kerikil
tajam bagi kemuliaan diri yang harus dipahami.
Bukan
hanya dalam hal spiritual saja, di bidang corak dan seni bangunan antara agama
Shiva dan Budha pun sangat menyatu. Hal ini dapat kita saksikan melalui Candi
Agung Paramabrahman [Prambanan] dan Candi Agung Bhumisambara [Borobudur].
Dimana arti dari kedua nama Candi ini mengisyaratkan tentang alam rokhani
[Parama] dan dan alam jasmani [Bumi], antara spiritual dan material yang harus
dipahami dengan baik dan benar. Rajutan-rajutan Shiva Budha semacam ini terjadi
hingga kerajaan-kerajaan besar berikutnya seperti kerajaan Kediri, Singhasari dan Majapahit. Melihat
kenyataan sejarah ini, para Tetua Nusantara seolah-olah berpesan “Kita tidak
akan mencapai kedamaian jika Shiva Budha dipisahkan…”. Shiva Budha ibarat api
dan panasnya, ibarat air dan basahnya, ibarat bukit dengan warna
hijaunya—mencapai Shiva Budha berarti mencapai kesempurnaan akan kebahagiaan,
kedamaian dan kesejahteraan.
Sebagai
bukti, dari rajutan Shiva Budha inilah Mpu Tantular mempersembahkan kalimat sakral
“Bhineka Tunggal Ika; Hanya ada satu Jiwa, tapi bentuk badannya banyak. Ada
badan yang disebut Yosep, Gandhi, Ahmad, Sidharta, Yesus. Ketika badan itu
hancur, sebutan itu pun lenyap. Tetapi Jiwa tetap langgeng” yang kemudian
diwariskan bagi Nusantara, bagi Indonesia. Namun banyak yang tidak paham dan
bahkan berpura-pura untuk tidak paham karena kepentingan kelompoknya, agamanya
dan kepentingannya pribadi. Huuuuh!! keterluan mereka itu. Padahal kalimat
sacral itu mampu membangun kedamaian dalam keragaman. Dan sampai akhirnya
setelah runtuhnya Majapahit ajaran Shiva Budha hadir di tanah Bali melalui para
Tetua. Bahkan hingga kini ajaran ini semakin susah dipisahkan. Perbedaan-perbedaan
kecil yang barangkali ada, hanyalah perbedaan tradisi warisan leluhur di
wilayahnya [desa kala patra] dan dengan metode yang tumbuh disana.
Warna Putih Kuning di Tanah Bali….
Sekali
lagi perhatikankanlah dengan seksama warna Putih Kuning di Tanah Bali—di Tanah
Persembahan. Dahulu kala hingga kini dari badan manusia, arca, bangunan sanggah
atau pura, pohon, batu, binatang, besi yang disakralkan atau pada hari-hari
yang disucikan tidak terlepas dari balutan kain yang berwarna putih dan kuning.
Seolah-olah warna putih dan kuning menjadi ciri khas warna tanah Bali ini. Di
tanah Bali ini semua isi bumi selain manusia pun ingin dimanusiakan, ingin
dimuliakan—yang wajib dihormati melalui simbol warna putih kuning ini. Sehingga
warna putih kuning saat ini semacam bukan lagi menunjuk sebagai simbol dua
agama yang berbeda, tapi telah bermanifestasi menjadi sosok penuntun diri dalam
rangka menuju penghormatan, kasih sayang, cinta, kebersamaan, kedamaian bagi
semesta raya.
Terlebih
lagi banyak tetua Bali mengidentifikasikan warna putih kuning dengan filosofi
luhur—hulu dan teben, kangin dan kauh, spiritual dan material, rokhani dan
jasmani. Hulu, kangin, dan spiritual yang dimaksud adalah arah gunung. Gunung
adalah simbolisasi Lingga atau unsur kejiwaan—penyebab utama alam semesta.
Sedangkan teben, kauh dan material yang dimaksud adalah arah laut. Laut dalam
konteks ini adalah simbolisasi Yoni atau unsur badaniah alam semesta. Orang
yang tidak mengenal arah kangin dan kauh dalam pengertian ini adalah sebenarnya
sebuah sindiran bagi orang yang tidak mengetahui hakikat hidup yang
sesungguhnya. Demikian pula orang yang tidak memahami hakikat warna putih
kuning adalah orang yang dianggap tidak sadar tentang arti hidup yang
sesungguhnya—tidak memiliki tujuan yang jelas, sehingga diidentikkan dengan
orang yang tidak waras atau gila. Namun orang yang memahami hakikat hidup yang
sejati melihat segalanya sebagai jiwa. Sedangkan badan hanyalah perangkat keras
yang tidak langgeng. Jiwa-lah hakikatnya.
Kemudian
tidak salah jika banyak orang di luar Bali menganggap seluruh alam Bali
berjiwa—menjadikan pulau kecil ini sebagai obat bagi perjalanan kehidupan.
Pohon, batu, sungai, laut, gunung dan bukit di Bali seolah hidup dan sedang
berbicara. Yakinlah anggapan ini tidak semata buaian atau rayuan belaka. Warna
putih kuning adalah salah satu spirit yang telah membawa berkah luar biasa
melalui penghormatan dari banyak orang di luar Bali itu. Spirit dari balutan
warna putih kuning yang dirasakan di tanah Bali memang susah diterjemahkan
melalui kata-kata, seperti musafir di padang pasir yang sedang meminum segelas
air bersih—hanya bisa dirasakan.
Tentu
ada banyak Tetua Bali yang menaburkan benih-benih spirit putih kuning ini, dari
Guru Besar Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, hingga Dang Hyang Nirarta dan Guru-guru
suci lainnya. Warna putih kuning yang mereka bawa ke tanah Bali telah berbuah
manis hingga kini. Buah manis itu bukan hanya menjadikan alam Bali yang sering
menjadi obat bagi kebanyakan orang barat yang datang. Ketika yang terakhir Bali
digoncang oleh Bom dari para teroris menyisakan pesan bagi sejarah bahwa orang
Bali tidak melawan aksi itu dengan hal-hal yang sama—tidak membalas bom dengan
bom. Tanpa banyak yang menyadari bahwa orang Bali sebenarnya masih merasakan
hakikat balutan warna putih kuning di dalam dirinya. Balutan yang ia dapatkan
semenjak orang Bali dikandung oleh ibu hingga kematian kelak…!!. Tidak bingung,
tidak resah apalagi gelisah. Bahkan banyak yang mengajak untuk intropeksi diri,
mulat sarira, “meneng ning… meneng ning—berpikirlah dengan jernih mengapa ini
bisa terjadi…”. Kebijaksanaan ini pun masih bisa dirasakan di tanah Bali
walaupun kini banyak yang telah mulai meragukannya lagi… Memang kibijaksanaan
ini sering terlihat pilu, namun lagi-lagi kebijaksanaan ini adalah salah satu
bentuk penghormatan orang Bali yang diwariskan dari Tetua Bali melalui spirit
balutan putih kuning bagi kemanusiaan dalam melawan keraksasaan.
Kebijaksanaan Kuning Mesti Dijaga dengan Kesadaran
Putih….
Tidak
berbeda dengan orang Bali, sejenak ingatlah salah satu kejadian di medan
kuruksetra, dimana Arjuna sedang merasakan kegalauan maksimal. Arjuna berkata
pada Krishna “Ohhh…. Kanda Vasudewa Sang Penguasa Alam Semesta ini, aku
galau.... disana aku melihat kakek yang sangat mencintaiku, beliau sering
mengelus kepalaku dengan kasih sayang…, disana juga ada guru yang sangat aku
hormati, yang telah menumpahkan semua ilmunya padaku… Jujur aku tidak sanggup
berperang, aku tidak sanggup Kanda…”. Arjuna kala itu masih melihat jutaan
badan-badan yang akan menjadi lawan tandingnya, kebijaksanaan yang sebelumnya
ada untuk membela dharma seketika lenyap dengan ribuan alasan badaniah. Busur
Ghandiva anugerah Dewa Agni yang ada di tangannya terlepas seketika. Kemudian
ia bersujud pada Krishna dan berkata dengan suara gemetar, “walaupun aku membenci
Duryodhana, tapi ia adalah saudaraku Krishna, dia adalah keponakan dari
ayahku…”.
Salah
satu dari sabda Sri Krishna dari kegalauan Arjuna adalah mengenai landasan dan
alur meraih kemerdekaan murni “Atman itu harus diperkuat agar dapat
menguasai budhi, budhi menguasai manah dan manah menguasai indria” [Bhagavad Gita 3.42]. Kita sebagai manusia harus menyadari
bahwa dasar sebuah “kemerdekaan” berakar pada kesadaran akan Jiva—yang hidup
dan menjiwai badan dan seluruh sifat kebendaan di alam semesta ini. Jiva atau
Atman yang merupakan bagian kesempurnaan dari Hyang Maha Sempurna. Dengan
kesadaran Jiva kita akan cenderung memberikan sinar penerangan pada Budhi
[sifat ke-Budha-an] atau cara berpikir. Cara berpikir yang bijaksana dalam
memahami segala keberadaan yang tercipta di dunia ini. Sehingga kelak dari
budhi ini pikiran menjadi lebih tenang dan penuh pertimbangan dalam melepaskan
indria-indria untuk bergerak bagi kehidupan. Inilah filosofis paduan warna
putih dan kuning disetiap tempat suci atau pada hal-hal yang disucikan.
Semua
mengarah pada sifat kedewataan, sifat yang mulia. Selalu dalam hal ini warna
putih diselimuti oleh warna kuning. Warna putih adalah interpretasi dari Shiva,
dan warna kuning adalah interpretasi dari ke-Budha-an. Pesan ini pun dapat
diterjemahkan bahwa sebelum ke luar untuk menuju ke warna “Kuning” maka
kesadaran “Putih” atau Atman—kesucian harus menjadi landasan menuju sifat
ke-Budha-an atau budhi—kebijaksanaan. Artinya seseorang harus memahami bahwa
kesadaran Jiva ini sebagai hal utama dalam prosesnya. Galang atau penerangan
dulu baru mencapai kemuliaan. Galungan dulu baru bertemu Kuningan.
Berbeda
dengan Duryodhana, Duryodhana adalah simbol korban materialisme, itulah
sebabnya ia lahir berupa gumpalan daging. Orang yang berpikir hanya mengacu
pada keinginan akibat kilauan material tidak akan pernah merasakan kedamaian,
apalagi kebijaksanaan—ia pun akan bingung dan hancur. Seperti halnya dua warna
dalam telur yaitu putih dan kuning, kuning telur selalu dibalut oleh warna putihnya, ini adalah personifikasi
lain dari kebijaksanaan yang mesti selalu dijaga oleh kesadaran akan Jiva.
Memahami
kesadaran Jiva atau Kebenaran Sang Diri maka kebahagiaan tidak akan terkubur
dalam tempat kehampaan—dari tempat realitas kehidupan. Karena hakikat kebenaran
Jiva haruslah ditemukan dan diungkapkan terlebih dahulu, baru kemudian
kebenaran dalam agama dapat memberikan penerangan dan arah bagi budhi, pikiran
dan indria. Sehingga kunci dalam memahami hakikat kesemestaan yang penuh
keragaman ini kita pegang dengan kedamaian, di tempat ini tidak lagi kita
temukan gaya yang membeda-bedakan atau diskriminasi terhadap perbedaan. Tidak
ada! Semua kita sadari dengan begitu ringan, seperti ringan tanpa beban kapas
yang diterbangkan oleh angin. Setelah membuka jendela rumah yang sekian lama
tertutup, Arjuna pun mengangkat senjatanya dan “membunuh” musuh-musuhnya.
Sehingga Arjuna bertemu dan menyatu di puncak gunung kemenangan dan
kebahagiaan. Dan inilah kemerdekaan sejati. Kemerdekaan yang bukan hanya untuk
diri sendiri, tapi kemerdekaan bagi semua. Kata semua pun bukan hanya berarti
manusia saja, tapi seluruh alam semesta. Dimana saja spirit bendera yang
berwarna putih dan kuning ini dikibarkan, maka kemerdekaan kehidupan ada
disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar