Semerbak Upakara Yajna di Zaman Industri:
Antara Eksistensi Alam dan Konsumtifisme
Hindu
sebagai agama mayoritas di Bali tentu memiliki kedudukan yang sangat
fundamental dalam berbagai hal, terutama dalam bidang agama itu sendiri, budaya
dan adat istiadat serta sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu tidak salah jika
Hindu dikatakan sebagai jiwa daripada segala aktifitas masyarakat Bali pada
umumnya. Hindu yang hadir dan terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Bali
sangat bersifat luwes. Luwes dalam arti sangat menghargai nilai-nilai tradisi yang
baik dan benar serta sesuai dengan ajaran Veda dalam setiap segala sendi-sendi
kehidupan masyarakat Bali pada khususnya. Karena Veda sebagai kitab suci agama
Hindu yang berasal dari sabda Tuhan tidaklah bersifat diskriminasi terhadap
keragaman. Ajaran Veda sangat memahami bahwa untuk menyamakan wajah setiap
orang yang berbeda adalah sebuah kebodohan. Keberagaman bagi Veda yang diimani
oleh umat Hindu adalah sebuah keniscayaan dan juga anugerah yang mesti
disyukuri.
Demikian
pula mengenai keberagaman cara pemujaan pada Tuhan disetiap tempat tentu
berbeda. Di Bali misalnya, masyarakat Hindu dalam sadhana-nya memuja Tuhan [ber-Yajna]
cenderung menggunakan media ritual yang beragam pula. Pada umumnya, media
ritual dalam masyarakat Hindu Bali ini disebut banten upakara—yang tidak bisa
dilepaskan dari pemikiran para Rsi penyebar agama Hindu agar memanfaatkan
eksistensi alam. Tentu sistem pemujaan semacam ini sangat erat kaitannya dengan
kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di Bali, baik dilihat dari
hutannya, danau, sungai, laut dan berbagai macam ekosistem yang hidup
didalammya. Bahkan hingga tata ruang masyarakat Bali pun mengacu pada
hukum-hukum alam, di samping didukung pula oleh sumber daya manusianya yang
sangat diwarnai oleh jiwa estetika, sehingga ada semacam usaha menjalin
hubungan yang harmonis di antara keduanya.
Melalui
keluwesan dan keuniversalan ajaran agama Hindu, tentu menjaga eksistensi alam
Bali menjadi sebuah bagian dari dharma bagi para Rsi yang datang ke Bali. Karena
dalam agama Hindu menjaga alam adalah bagian dari bhakti pada Tuhan. Dan itulah
dalam Yajurveda XXXX.1 disabdakan “Tuhan berstana diseluruh alam semesta….”. Sehingga
pada prinsipnya, dalam banten upakara ada semacam pesan yang perlu dipahami
oleh pelaku ritual di Bali pada khususnya; bahwa
apa yang kita butuhkan akan selalu ada dan apa yang kita tidak butuhkan segera
akan sirna [Cakra Yajna]. Prinsip ini bukanlah tanpa alasan, ada semacam
timbal balik; jika kita memerlukan sumber daya alam untuk kehidupan tentu
sumber daya alam itu akan tetap eksis. Karena tidak mungkin kita akan
melenyapkan sesuatu yang masih kita butuhkan. Demikian pula sebaliknya, jika
sumber daya alam ini kita tidak butuhkan, maka kita akan seenaknya
mengeksploitasi.
Tentu
prinsip ini tidak hanya sebatas menjaga lingkungan dalam konteks yang
biasa-biasa saja, namun dengan prinsip ini para Rsi telah menyatukan
kemahrmonisan dalam sebuah jalinan yang sempurna melalui media ritual banten
upakara yang terpadu, yakni antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia
sebagai makhluk sosial dan manusia dengan Tuhan sebagai makhluk religius. Prinsip inilah yang kemudian selama
ribuan tahun menjaga eksisntesi alam dan manusia Bali sehingga tetap lestari
dan sejahtera. Dan kemudian prinsip inilah yang juga menyebabkan pulau Bali ini
dikagumi oleh dunia. Dalam agama Hindu prinsip ini pernah disabdakan oleh Sri
Krishna, “…..berbahagialah engkau dengan yajna [korban suci] sebab
pelaksanaannya akan menganugerahkan segala sesuatu yang diinginkan untuk hidup
secara bahagia dan mencapai kebebasan” [Bhagavad Gita, III.10]. Oleh
karena hal tersebut, tentu ada makna-makna pendidikan yang dapat kita petik
dari prinsip ini. Adapun makna-makna itu sebagi berikut.
1. Pelayanan
[Sevanam]
Tetua Bali dari semenjak dahulu telah
mencerminkan bagaimana sifat-sifat alam telah menjadi taksu bagi setiap apa
yang dikerjakannya. Baik dari mengukir, menari, melukis, bertani, berkebun
hingga membuat banten upakara dan kegiatan lainnya sebagai sebuah pelayanan
dalam bentuk persembahan. Prinsip inilah yang disebut bhakti dalam Hindu. Swami
Vivekananda mengatakan “Seorang yang bhakti adalah bersifat emosional, sang
pecinta….. ia mencintai Tuhan, oleh karena itu ia menggunakan semua jenis
ritual, dupa, bungan, bangunan indah, bentuk indah dan sejenisnya…. Jangan
mengatakan mereka orang yang bodoh… orang yang penuh dengan cinta tidak bisa
menerima definisi abstrak tentang kebenaran” [Ghindwani, 2005:116-117]. Itulah
kemudian, melalui banten upakara para tetua Bali telah menyadari bahwa hidup
ini hadir karena terjalinnya tali pelayanan dan persembahan. Bayangkan saja
jika tanah tidak lagi subur, air tidak lagi segar, api tidak lagi panas atau
angin tidak lagi berhembus. Tentu kehidupan ini menjadi sebuah neraka yang
sangat menyakitkan. Hal ini menyiratkan bahwa spirit hidup adalah pelayanan;
pelayanan kepada Tuhan, sesama manusia maupun alam.
2. Tanggung
Jawab [Utsaha Dharma]
Dibandingkan hewan dan
tumbuh-tumbuhhan, manusia lebih mulia. Kemulian manusia didasari anugerah
pikiran [idep] yang diberikan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah, mencari
jalan keluar dan memutuskan suatu keputusan yang tepat bagi dirinya secara mikro
dan alam semesta secara makro. Prinsip dalam banten upakara ini juga memberikan
kita akan pentingnya rasa tanggung jawab dalam hidup. Rasa tanggung jawab dalam
arti melakukan usaha yang didasari dharma atau kebenaran dalam berhubungan
dengan alam. Karena melalui tanggung jawab ini kita sebagai manusia akan dimuliakan.
Kemudian dengan tanggaung jawab kita akan lebih peka dengan eksistensi alam,
masalah-masalah sosial yang berasal dari alam. Dan rasa tanggung jawab itu akan
memunculkan semangat produktifitas dan kreatifitas dalam menjaga eksistensi
alam.
3. Pengendalian
Diri [Tapa]
Melalui pentingnya prinsip ini untuk
dipegang dengan teguh, maka kita hendaknya mem-parisudha pikiran, perkataan dan
perbuatan kita melalui tapa atau pengendalian diri. Kita sering mengeluh akan
duka yang datang dari alam; bahwa alam sering kali menghukum kita, walaupun
pada dasarnya alam tidaklah pernah menghukum. Alam hanya merefleksikan apa yang
kita pikirkan, katakan atau perbuat. Terjadinya kebakaran hutan, kebanjiran,
tanah longsor dan lain sebagainya adalah hasil refleksi diri kita pada alam.
Dalam Hindu keberadaan alam semesta ini adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita. Manusia adalah bagian dari keberadaan alam semesta ini. Kita
bisa membuat alam ini tersenyum maupun murka pada diri kita. Mengapa alam Bali
begitu menggoda bagi masarakat dunia, karena tetua Bali mampu berhubungan
secara harmonis dengan alam. Mereka melakukan tapa, tapa untuk menyadarkan diri
agar tidak mengeksploitasi alam. Bahkan alam pun diberikan penghormatan melalui
hari suci [tumpek wariga] oleh tetua Bali.
Namun belakangan ini terjadi dilema,
sebelumnya masyarakat Bali yang hidup berdasarkan balutan agraris dan lebih
menyatu serta tergantung pada alam sepenuhnya melalui prinsip di atas, kini seolah-olah
bergeser dengan seirama masuknya dunia industri di Bali yang lebih menonjolkan kepariwisataan—membawa
masyarakat sedikit banyaknya melupakan prinsip hubungan dengan eksistensi alam.
Karena dengan hadirnya industri pariwisata, alasannya adalah, dunia industri
pariwisata menuntut masyarakat Bali
hidup dalam gaya konsumtif. Sehingga segala hal yang berbau banten upakara pun menjadi
kebutuhan yang instan. Karena masyarakat industri adalah masyarakat yang
menggunakan kemampuan akal dan bukan semata-mata kemampuan otot. Oleh sebab itu
perencanaan pendidikan dan pelatihan diarahkan kepada pengembangan dan
penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya. Selanjutnya
keterampilan yang diprogramkan adalah
keterampilan yang dibutuhkan di dalam pasar kerja oleh dunia industri atau oleh
kesempatan-kesempatan yang muncul karena kemajuan ilmu dan teknologi [Tilaar,
2001:120].
Secara
substantive konsumtifisme adalah paham yang memandang segala sesuatu yang
dibutuhkan, diperlukan atau diinginkan, bisa di beli dan tidak harus
mempruduksi. Bahkan dalam tingkat lebih lanjut, gaya hidup konsumtif akan
menjadikan kegiatan membeli atau berbelanja sebagai suatu hobi atau rekreasi
yang menyenangkan sekaligus memuaskan [Widana, 2011:59]. Jika kita mengenal
filosof Descartes menyatakan “Aku
berpikir maka aku ada”, maka dalam mind-set konsumtifisme, telah menjelma
menjadi “Aku mengkonsumsi, karenanya aku ada”. Aku dalam hal ini adalah
ekspresi dari hasrat kepemilikan akan sesuatu dalam bentuk eksternalisasi
ataupun internalisasi yang selalu dikontrolnya.
Bersama
alasan ini banten upakara juga cenderung tidak lagi menjadi produksi pribadi
dalam setiap keluarga seperti pada masa-masa agraris. Sehingga dalam dunia
industri yang identik dengan konsumtifisme menjadikan banten upakara sebagai
ranah komersialisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Widana [2011:62] yang
menyatakan “Faktanya, sekarang ini, untuk sebuah kegiatan meyajna, khususnya
dalam hal penyediaan bebanten, seperti banten saiban atau canang, sodan,
pejati, sampai ketingkatan banten utama, umat dengan mudah dan lumrah
mendapatkannya dengan hanya membeli banten ‘siap saji’”. Karena dengan sifat banten
upakara yang dikomersilkan ini, menjadikan masyarakat industri merasa lebih
mudah dalam mengatur waktu dalam pasar kerja yang menuntut kedisiplinan dan
keefesienan disegala bidang. Arah yang berubah ini pun menjadikan masyarakat
Bali kurang begitu peka terhadap eksistensi alam yang memerlukan perhatian
seperti pada masa-masa agraris. Hal ini semakin terlihat dari pembangunan
material yang begitu pesat di Bali, terutama pembangunan yang mengikis areal-areal
yang semula menjadi areal agraris [Subak] yang kini beralih fungsi untuk
mendukung pasar industri yang lebih menjanjikan untuk memenuhi konsumtifisme.
Hindu
bukanlah agama yang menutup diri terhadap kemajuan zaman teknologi maupun
kehadiran pasar industri—Hindu bukanlah agama yang diakhiri dengan “titik”.
Hindu adalah agama yang mengalir terus ibarat air hujan yang jatuh digunung
menuju laut dan menguap menjadi hujan kembali. Tentu sebuah hal yang alami jika
masyarakat Bali masuk dalam dunia industri pariwisata. Namun yang perlu
disadari adalah manusia tidak bisa lepas dengan sumber daya alam. Walaupun banten
upakara mampu dipenuhi melalui ranah komersil, bukanlah semata-mata
menyelesaikan masalah yang seolah-olah dilupakan atau pura-pura tidak disadari
dengan menjadikan industri pariwisata sebagai pembenaran. Karena ranah komersil
dalam kebutuhan yang konsumtif jika tidak diimbangi pula dengan kepekaan pada
alam suatu saat tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bencana bagi individu
dan umat manusia khususnya di Bali.
Di
dalam Bhagavad Gita III.16 dinyatakan “….orang yang tidak mengikuti sistem
korban suci [Cakra Yajna] tersebut yang ditetapkan dalam Veda, pasti hidup
dengan penuh dosa. Sia-sialah orang yang hidup seperti itu, yang hidup untuk
memuaskan indria-indrianya”. Manusia dan alam ibarat satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, apa yang dilakukan oleh manusia akan terefleksi kepada alam,
maka alam pun akan merefleksikan hal yang sama. Tumbuh-tumbuhan [Stavira],
hewan [Jenggama] dan manusia [Manava] adalah tiga jenis makhluk hidup ciptaan
Tuhan. Di antara ciptaan Tuhan itu, manusialah makhluk hidup yang memiliki
kesadaran jiwa, kesadaran intelektual dan kesadaran emosi. Hanya manusialah
yang dapat berbuat berdasarkan kesadarannya. Tumbuh-tumbuhan dan hewan hanya
dapat berbuat melalui tenaga dan instink. Manusia dapat mengerti baik dan
buruk, benar salah, lebih kurang. Manusialah makhluk hidup yang dapat dengan
sengaja dan berdasarkan kesadaran untuk membangun keharmonisan selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar