Rabu, 17 Juni 2015

Semerbak Upakara


Semerbak Upakara Yajna di Zaman Industri:
Antara Eksistensi Alam dan Konsumtifisme



Hindu sebagai agama mayoritas di Bali tentu memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam berbagai hal, terutama dalam bidang agama itu sendiri, budaya dan adat istiadat serta sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu tidak salah jika Hindu dikatakan sebagai jiwa daripada segala aktifitas masyarakat Bali pada umumnya. Hindu yang hadir dan terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Bali sangat bersifat luwes. Luwes dalam arti sangat menghargai nilai-nilai tradisi yang baik dan benar serta sesuai dengan ajaran Veda dalam setiap segala sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali pada khususnya. Karena Veda sebagai kitab suci agama Hindu yang berasal dari sabda Tuhan tidaklah bersifat diskriminasi terhadap keragaman. Ajaran Veda sangat memahami bahwa untuk menyamakan wajah setiap orang yang berbeda adalah sebuah kebodohan. Keberagaman bagi Veda yang diimani oleh umat Hindu adalah sebuah keniscayaan dan juga anugerah yang mesti disyukuri.


Demikian pula mengenai keberagaman cara pemujaan pada Tuhan disetiap tempat tentu berbeda. Di Bali misalnya, masyarakat Hindu dalam sadhana-nya memuja Tuhan [ber-Yajna] cenderung menggunakan media ritual yang beragam pula. Pada umumnya, media ritual dalam masyarakat Hindu Bali ini disebut banten upakara—yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran para Rsi penyebar agama Hindu agar memanfaatkan eksistensi alam. Tentu sistem pemujaan semacam ini sangat erat kaitannya dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di Bali, baik dilihat dari hutannya, danau, sungai, laut dan berbagai macam ekosistem yang hidup didalammya. Bahkan hingga tata ruang masyarakat Bali pun mengacu pada hukum-hukum alam, di samping didukung pula oleh sumber daya manusianya yang sangat diwarnai oleh jiwa estetika, sehingga ada semacam usaha menjalin hubungan yang harmonis di antara keduanya.

Melalui keluwesan dan keuniversalan ajaran agama Hindu, tentu menjaga eksistensi alam Bali menjadi sebuah bagian dari dharma bagi para Rsi yang datang ke Bali. Karena dalam agama Hindu menjaga alam adalah bagian dari bhakti pada Tuhan. Dan itulah dalam Yajurveda XXXX.1 disabdakan “Tuhan berstana diseluruh alam semesta….”. Sehingga pada prinsipnya, dalam banten upakara ada semacam pesan yang perlu dipahami oleh pelaku ritual di Bali pada khususnya; bahwa apa yang kita butuhkan akan selalu ada dan apa yang kita tidak butuhkan segera akan sirna [Cakra Yajna]. Prinsip ini bukanlah tanpa alasan, ada semacam timbal balik; jika kita memerlukan sumber daya alam untuk kehidupan tentu sumber daya alam itu akan tetap eksis. Karena tidak mungkin kita akan melenyapkan sesuatu yang masih kita butuhkan. Demikian pula sebaliknya, jika sumber daya alam ini kita tidak butuhkan, maka kita akan seenaknya mengeksploitasi.

Tentu prinsip ini tidak hanya sebatas menjaga lingkungan dalam konteks yang biasa-biasa saja, namun dengan prinsip ini para Rsi telah menyatukan kemahrmonisan dalam sebuah jalinan yang sempurna melalui media ritual banten upakara yang terpadu, yakni antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia sebagai makhluk sosial dan manusia dengan Tuhan sebagai makhluk religius. Prinsip inilah yang kemudian selama ribuan tahun menjaga eksisntesi alam dan manusia Bali sehingga tetap lestari dan sejahtera. Dan kemudian prinsip inilah yang juga menyebabkan pulau Bali ini dikagumi oleh dunia. Dalam agama Hindu prinsip ini pernah disabdakan oleh Sri Krishna, “…..berbahagialah engkau dengan yajna [korban suci] sebab pelaksanaannya akan menganugerahkan segala sesuatu yang diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai kebebasan” [Bhagavad Gita, III.10]. Oleh karena hal tersebut, tentu ada makna-makna pendidikan yang dapat kita petik dari prinsip ini. Adapun makna-makna itu sebagi berikut.

1.  Pelayanan [Sevanam]
Tetua Bali dari semenjak dahulu telah mencerminkan bagaimana sifat-sifat alam telah menjadi taksu bagi setiap apa yang dikerjakannya. Baik dari mengukir, menari, melukis, bertani, berkebun hingga membuat banten upakara dan kegiatan lainnya sebagai sebuah pelayanan dalam bentuk persembahan. Prinsip inilah yang disebut bhakti dalam Hindu. Swami Vivekananda mengatakan “Seorang yang bhakti adalah bersifat emosional, sang pecinta….. ia mencintai Tuhan, oleh karena itu ia menggunakan semua jenis ritual, dupa, bungan, bangunan indah, bentuk indah dan sejenisnya…. Jangan mengatakan mereka orang yang bodoh… orang yang penuh dengan cinta tidak bisa menerima definisi abstrak tentang kebenaran” [Ghindwani, 2005:116-117]. Itulah kemudian, melalui banten upakara para tetua Bali telah menyadari bahwa hidup ini hadir karena terjalinnya tali pelayanan dan persembahan. Bayangkan saja jika tanah tidak lagi subur, air tidak lagi segar, api tidak lagi panas atau angin tidak lagi berhembus. Tentu kehidupan ini menjadi sebuah neraka yang sangat menyakitkan. Hal ini menyiratkan bahwa spirit hidup adalah pelayanan; pelayanan kepada Tuhan, sesama manusia maupun alam.

2. Tanggung Jawab [Utsaha Dharma]
Dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhhan, manusia lebih mulia. Kemulian manusia didasari anugerah pikiran [idep] yang diberikan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah, mencari jalan keluar dan memutuskan suatu keputusan yang tepat bagi dirinya secara mikro dan alam semesta secara makro. Prinsip dalam banten upakara ini juga memberikan kita akan pentingnya rasa tanggung jawab dalam hidup. Rasa tanggung jawab dalam arti melakukan usaha yang didasari dharma atau kebenaran dalam berhubungan dengan alam. Karena melalui tanggung jawab ini kita sebagai manusia akan dimuliakan. Kemudian dengan tanggaung jawab kita akan lebih peka dengan eksistensi alam, masalah-masalah sosial yang berasal dari alam. Dan rasa tanggung jawab itu akan memunculkan semangat produktifitas dan kreatifitas dalam menjaga eksistensi alam.

3. Pengendalian Diri [Tapa]
Melalui pentingnya prinsip ini untuk dipegang dengan teguh, maka kita hendaknya mem-parisudha pikiran, perkataan dan perbuatan kita melalui tapa atau pengendalian diri. Kita sering mengeluh akan duka yang datang dari alam; bahwa alam sering kali menghukum kita, walaupun pada dasarnya alam tidaklah pernah menghukum. Alam hanya merefleksikan apa yang kita pikirkan, katakan atau perbuat. Terjadinya kebakaran hutan, kebanjiran, tanah longsor dan lain sebagainya adalah hasil refleksi diri kita pada alam. Dalam Hindu keberadaan alam semesta ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita. Manusia adalah bagian dari keberadaan alam semesta ini. Kita bisa membuat alam ini tersenyum maupun murka pada diri kita. Mengapa alam Bali begitu menggoda bagi masarakat dunia, karena tetua Bali mampu berhubungan secara harmonis dengan alam. Mereka melakukan tapa, tapa untuk menyadarkan diri agar tidak mengeksploitasi alam. Bahkan alam pun diberikan penghormatan melalui hari suci [tumpek wariga] oleh tetua Bali.

Namun belakangan ini terjadi dilema, sebelumnya masyarakat Bali yang hidup berdasarkan balutan agraris dan lebih menyatu serta tergantung pada alam sepenuhnya melalui prinsip di atas, kini seolah-olah bergeser dengan seirama masuknya dunia industri di Bali yang lebih menonjolkan kepariwisataan—membawa masyarakat sedikit banyaknya melupakan prinsip hubungan dengan eksistensi alam. Karena dengan hadirnya industri pariwisata, alasannya adalah, dunia industri pariwisata  menuntut masyarakat Bali hidup dalam gaya konsumtif. Sehingga segala hal yang berbau banten upakara pun menjadi kebutuhan yang instan. Karena masyarakat industri adalah masyarakat yang menggunakan kemampuan akal dan bukan semata-mata kemampuan otot. Oleh sebab itu perencanaan pendidikan dan pelatihan diarahkan kepada pengembangan dan penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya. Selanjutnya keterampilan yang diprogramkan  adalah keterampilan yang dibutuhkan di dalam pasar kerja oleh dunia industri atau oleh kesempatan-kesempatan yang muncul karena kemajuan ilmu dan teknologi [Tilaar, 2001:120].

Secara substantive konsumtifisme adalah paham yang memandang segala sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan atau diinginkan, bisa di beli dan tidak harus mempruduksi. Bahkan dalam tingkat lebih lanjut, gaya hidup konsumtif akan menjadikan kegiatan membeli atau berbelanja sebagai suatu hobi atau rekreasi yang menyenangkan sekaligus memuaskan [Widana, 2011:59]. Jika kita mengenal filosof Descartes menyatakan  “Aku berpikir maka aku ada”, maka dalam mind-set konsumtifisme, telah menjelma menjadi “Aku mengkonsumsi, karenanya aku ada”. Aku dalam hal ini adalah ekspresi dari hasrat kepemilikan akan sesuatu dalam bentuk eksternalisasi ataupun internalisasi yang selalu dikontrolnya.

Bersama alasan ini banten upakara juga cenderung tidak lagi menjadi produksi pribadi dalam setiap keluarga seperti pada masa-masa agraris. Sehingga dalam dunia industri yang identik dengan konsumtifisme menjadikan banten upakara sebagai ranah komersialisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Widana [2011:62] yang menyatakan “Faktanya, sekarang ini, untuk sebuah kegiatan meyajna, khususnya dalam hal penyediaan bebanten, seperti banten saiban atau canang, sodan, pejati, sampai ketingkatan banten utama, umat dengan mudah dan lumrah mendapatkannya dengan hanya membeli banten ‘siap saji’”. Karena dengan sifat banten upakara yang dikomersilkan ini, menjadikan masyarakat industri merasa lebih mudah dalam mengatur waktu dalam pasar kerja yang menuntut kedisiplinan dan keefesienan disegala bidang. Arah yang berubah ini pun menjadikan masyarakat Bali kurang begitu peka terhadap eksistensi alam yang memerlukan perhatian seperti pada masa-masa agraris. Hal ini semakin terlihat dari pembangunan material yang begitu pesat di Bali, terutama pembangunan yang mengikis areal-areal yang semula menjadi areal agraris [Subak] yang kini beralih fungsi untuk mendukung pasar industri yang lebih menjanjikan untuk memenuhi konsumtifisme.

Hindu bukanlah agama yang menutup diri terhadap kemajuan zaman teknologi maupun kehadiran pasar industri—Hindu bukanlah agama yang diakhiri dengan “titik”. Hindu adalah agama yang mengalir terus ibarat air hujan yang jatuh digunung menuju laut dan menguap menjadi hujan kembali. Tentu sebuah hal yang alami jika masyarakat Bali masuk dalam dunia industri pariwisata. Namun yang perlu disadari adalah manusia tidak bisa lepas dengan sumber daya alam. Walaupun banten upakara mampu dipenuhi melalui ranah komersil, bukanlah semata-mata menyelesaikan masalah yang seolah-olah dilupakan atau pura-pura tidak disadari dengan menjadikan industri pariwisata sebagai pembenaran. Karena ranah komersil dalam kebutuhan yang konsumtif jika tidak diimbangi pula dengan kepekaan pada alam suatu saat tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bencana bagi individu dan umat manusia khususnya di Bali.

Di dalam Bhagavad Gita III.16 dinyatakan “….orang yang tidak mengikuti sistem korban suci [Cakra Yajna] tersebut yang ditetapkan dalam Veda, pasti hidup dengan penuh dosa. Sia-sialah orang yang hidup seperti itu, yang hidup untuk memuaskan indria-indrianya”. Manusia dan alam ibarat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, apa yang dilakukan oleh manusia akan terefleksi kepada alam, maka alam pun akan merefleksikan hal yang sama. Tumbuh-tumbuhan [Stavira], hewan [Jenggama] dan manusia [Manava] adalah tiga jenis makhluk hidup ciptaan Tuhan. Di antara ciptaan Tuhan itu, manusialah makhluk hidup yang memiliki kesadaran jiwa, kesadaran intelektual dan kesadaran emosi. Hanya manusialah yang dapat berbuat berdasarkan kesadarannya. Tumbuh-tumbuhan dan hewan hanya dapat berbuat melalui tenaga dan instink. Manusia dapat mengerti baik dan buruk, benar salah, lebih kurang. Manusialah makhluk hidup yang dapat dengan sengaja dan berdasarkan kesadaran untuk membangun keharmonisan selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar