Selasa, 09 Juni 2015

"Pasupati"

   Menyelami Kidung Arjuna 

   Saat Menerima"Pasupati"
 

…. Arjuna dan Dewa Shiva yang sedang menyamar menjadi seorang pemburu, masing-masing masih kuat dengan pendirian, bahwa anak panah yang menancap pada babi itu milik mereka. Perkelahian pun harus terjadi—tidak dapat dihindari. Arjuna sebagai perwakilan manusia memberikan pesan, pengaruh harapan terhadap hasil menyebabkan seseorang menjadi bingung dan mudah tersulut emosinya—mudah diadu domba, ia melupakan moralitas atau sopan santun. Dewa Shiva-pun harus menyadarkan Arjuna akan pamrihnya itu. Arjuna tidak akan menerima senjata Pasupati jika egonya masih tinggi. Karena senjata Pasupati tidak akan diterima jika hati seseorang masih dikeruhkan dengan keangkuhan dan tanpa pengendalian diri.

Keangkuhan dan tanpa pengendalian diri tidak akan pernah memenangkan kehidupan—ia pasti kalah, sebagaimanapun kekuatannya, sebagaimanapun pasukannya dan dukungannya. Kamsa, Duryodana, Rahwana adalah beberapa bukti dalam sejarah yang telah hancur akibat tanpa pengendalian diri. Seperti halnya yang akan terjadi, Arjuna semakin mendekati kekalahannya. Kekalahan ini pula menjadi akhir dan klimaks kekalahan semua musuh-musuhnya. Ibarat seseorang meneguk air setelah berhari-hari merasakan dahaga berat—Ahhhh......!! Ahhhhh...!!! Arjuna pun merasa badannya begitu ringan, setelah kalah dari pertarungan ini kelegaan yang belum pernah dirasakan—ia nikmati sekarang. Sesaat merasakan kelegaan itu, Arjuna menyentuh kaki padma Dewa Shiva yang seirama menampakkan wujud asli-Nya. Seperti aliran air yang tanpa paksaan, Arjuna pun memuja Dewa Shiva dengan ketulusan hatinya.

"Om sembah hamba yang hina semoga disaksikan oleh penguasa ketiga dunia, lahir bhatin sembah hamba kehadapan kaki-Mu tiada lain, Engkau yang bagaikan api di dalam kayu, bagaikan minyak dalam santan, yang nyata-nyata keluar kalau ada orang yang memutar pengetahuan suci ke jalan yang benar"

Arjuna merasa dirinya tidak berarti lagi dihadapan-Nya, Arjuna sangat menyadari dirinya hanyalah butiran kecil dari keseluruhan alam semesta ini—ibarat satu butiran pasir dalam luasnya padang pasir. Ia pun menyadari bukan hanya lahiriah saja kehidupan ini, ia mempersembahkan segalanya—bhatin-nya juga. Ada jutaan bintang-bintang, ada banyak benda-benda angkasa, ada banyak planet, ada langit dan luasnya bumi. Bahkan bumi hanyalah salah satu bagian dari isi alam semesta, jika bumi terasa kecil apalagi dengan manusia yang lebih kecil. Dan ego manusia bukanlah segalanya, namun banyak diantara kita dengan egonya seolah-olah telah memiliki dunia. Dengan egonya manusia menciptakan konsep-konsep yang mengikat dirinya, seolah-olah konsep itu adalah segalanya. Bahkan kita sering lupa Tuhan harus turun dan mengirim banyak Dewa untuk hadir di bumi untuk keselamatan, tapi kita begitu fanatiknya dengan hanya satu konsep yang beralaskan ego itu. Sekarang Arjuna mulai mengerti, bahwa ketampanannya, keangkuhannya, pamrihnya tidak berarti apa-apa setelah ia mencapai klimaks tapanya, setelah usahanya menggosok kayu dan memeras santannya, ia telah menemukan api dan santan—akhirnya ia menyerahkan diri seutuhnya di kaki Dewa Shiva.

"Engkau mengendalikan seluruh alam semesta, Engkau adalah intisari Kebenaran yang tertinggi, Engkau sungguh bersifat rahasia, kasihmu menyusup dalam ada dan tiada, besar dan kecil serta benar dan salah atau baik dan buruk, Engkau adalah penyebab segala yang ada yang mengalami lahir hidup dan mati, Engkau adalah asal dan kembalinya seluruh jagat, Engkau sesungguhnya nyata dan tidak nyata"

Ketajaman pengetahuan Arjuna semakin terbukti lagi ketika memahami ada Energi yang menjadi kendali alam semesta ini, ia mengungkapkan tetang sifat rahasia dari Dewa Shiva; kasih Dewa menyusup dalam dualitas kehidupan ini. Ada yang suka panas, ada yang suka dingin. yang suka panas menolak dingin, yang suka dingin menolak panas. Orang bule mencari panas di pantai Kuta atau di pantai Lovina, sedangkan orang timur mencari dingin di Kintamani atau di Bedugul. Orang yang merasa kulit tubuhnya gelap mencari pasangan yang berwarna kulit putih, sedangkan orang yang merasa kulit tubuhnya putih mencari pasangan yang warna kulitnya sedikit gelap.

Demikianlah keadaan manusia. Setiap manusia mencari salah satu dari pasangan pengalaman; salah satu yang kita sukai. Lantunan pujian Arjuna memberikan pesan luhur—mengajak kita untuk menerima pengalaman seutuhnya. Suka tanpa duka tidaklah utuh. Panas tanpa dingin tidaklah utuh. Hitam tanpa putih juga tidak utuh. Penerimaan semacam ini mampu membebaskan rasa kesal kita, rasa kecewa kita. Karena suka tidak bisa eksis tanpa duka. Timbunan duka yang makin tinggi itulah kemudian runtuh dan menciptakan kelegaan atau suka. Kemudian jika suka menumpuk pun kita menjadi bosan, jenuh dan akhirnya duka.

Di balik rasa kecewa ada rasa tidak puas, rasa tidak puas karena kita mengalami sesuatu yang kita tidak sukai. Kita lebih suka dengan pasangan pengalaman tersebut. Kita suka panas tapi mengalami dingin, maka kita menjadi kesal, gelisah dan marah. Namun jika kita menerima setiap pasangan pengalaman, tidak ada lagi kekecewaan dan kekesalan. Tidak ada pula kegelisahan atau amarah. Kita suka panas dan dingin juga, kita suka manis tapi pedas juga. Dengan demikian gugurlah suka dan duka, yang tersisa hanyalah kebahagiaan. Inilah yang disebut oleh Arjuna bahwa kasih-Nya menyusup dalam suka dan duka, baik dan buruk serta benar dan salah. Semua bersumber dari-Nya. Karena esensinya adalah Jiwa, maka inilah yang disebut sebagai penyebab; baik lahir karena Jiwa hadir di dalam badan, mati-pun karena jiwa lepas dari badan. Kemudian sifat nyata dari Shiva adalah adanya keesaa-Nya berupa ciptaan material alam semesta. Ketidaknyataan-Nya adalah keesaa-Nya sebagai Jiwa yang bersifat tidak terpikirkan, tidak memiliki nama, tidak memiliki bentuk yang dapat dipahami oleh manusia dan lain sebagainya.

Setelah memahami esensi kehidupan ini Arjuna pun akhirnya menerima anugerah Pasupati. Lagi-lagi Arjuna tercengang ketika Dewa Shiva bersabda bahwa senjata Pasupati bukanlah berupa senjata material, tapi ia adalah pengetahuan sejati tentang kehidupan yang akan menghantarkan setiap orang yang memahaminya selalu menang dalam setiap pertempuran di lapangan kehidupan. Kemenangan itu berupa terkendalinya sifat-sifat keraksasan atau kebinatangan dalam diri—yang berupa kesombongan, keangkuhan, kemarahan, kebingungan, keserekahan. ”Pasu” berarti ”sifat kebinatangan atau keraksasaan” dan ”Pati” berarti ”Hidup”. Pasupati berarti siapa saja yang mampu mengedalikan sifat kebinatangan atau keraksasaan ia sebenarnya telah menemukan Kesejatian Hidup. Itulah sebabnya menjadi salah satu alasan, di medan pertempuran Kuruksetra Arjuna berhak mendapatkan dharsana dari Sri Krishna berupa Bhagavad Gita—hingga ia diberikan kesempatan melihat personifikasi nyata Kemahakuasaan Tuhan.

Arjuna semakin mabuk!!! Tapi mabuk Arjuna bukan karena minuman keras. Mabuk Arjuna akibat ia telah dibanjiri oleh spiritualitas akibat pengetahuannya dari Dewa Shiva. Akibat mabuknya itu, ia pun lagi-lagi memuja Shiva dengan kidung indah, kidung yang sekaligus wajib menjadi spirit bagi pemuja-Nya yang benar-benar ingin mendapatkan sekaligus jaminan bertemu dengan Shiva, bertemu dengan sumber kebahagiaan yang menjadikan kehidupan lebih berseri-seri.

”Bayangan bulan terlihat dalam tempayan yang berisi air, setiap air yang suci hening akan berisi bulan, demikianlah Engkau, Tuhan berada dalam setiap makhluk, pada orang yang melakukan yoga engkau menampakkan Diri”
["Arjuna... panah Pasupati ini hanyalah simbolik  semata....
untuk mempermudah pemahaman masyarakat dalam memaknainya...
selebihnya, kekuatan Pasupati ada di dalam dirimu"]


Setiap tempayan yang berisi air akan mampu menampakkan bayangan bulan yang berada di langit. Namun bayangan bulan akan berbeda penampakannya disetiap tempayan berisi air itu. Perbedaan dalam penampakan bayangan bulan terjadi akibat pengaruh kualitas air yang berada dalam tempayan. Jika air dalam tempayan itu keruh sehingga menjadikan air tidak bening dan jernih, maka bayangan bulan tidak tampak sempurna. Bukan hanya keruh saja penyebabnya, jika air yang berada dalam tempayan tidak tenang atau hening bayangan bulan pun tidak terlihat sempurna.

Maksudnya adalah terkait dengan usaha seseorang dalam mencapai ilmu pengetahuan atau pemujaan pada Tuhan. Tempayan adalah simbol diri manusia, sedangkan air adalah simbol pikiran manusia. Dan bulan adalah simbol Atman. Pikiran manusia diibaratkan air karena sering bergelombang, tidak tenang, mudah goyah oleh pengaruh duniawi atau materialistis. Jika seseorang memberikan kebebasan pada pikiran untuk berbuat seenaknya, maka hasil akhir adalah kita akan menjadi korban dualitas kehidupan. Sebentar suka, kemudian tidak beberapa lama duka. Orang yang menjadi korban dualitas tidak memperoleh cahaya penerang dalam hidupnya. Orang yang demikian menjadi sempit bahkan buta penglihatannya. Penglihatannya hanya berada dalam areal dunia saja, sehingga ia terus jalan di tempat keduniawian saja.

Kidung Arjuna menginginkan kita untuk keluar dari korban dualitas kehidupan. Keluar dari hayalan yang sering membuat kita kelelahan—yang selalu berubah. Sebentar ini dan sebentar itu. Percayalah di balik itu ada cahaya yang terus bersinar terang. Sinar itu membahagiakan dan tidak membingungkan. Cahaya itu tidak pula melarang kita untuk hidup di dunia, namun Cahaya itu memberikan kita pemahaman tentang hidup di dunia. Kemudian tugas kita cukup sederhana, caranya heningkan air di tempayan itu—damaikan pikiran dengan yoga. Seperti menenangkan air dalam tempayan tentu ada prosesnya—mendamaikan pikiran pun demikian.

Cintai Cahaya itu, cinta pun harus sungguh-sungguh. Tanpa cinta kita tidak akan bertahan lama dalam proses ini. Kita tidak akan pernah melupakan hal-hal yang kita cintai bukan? Ya.. cinta ini kita sebut bhakti. Seperti bhakti Arjuna dalam tapanya. Mencintai-Nya disaat kita makan, disaat kita tidur, sekolah, bekerja dan setiap aktifitas apa saja kita mencintai-Nya. Aktualisasi cinta itu kita sebut saja nama-Nya. Kita boleh menyebut Ia Shiva, Visnu, Brahma, Indra ataupun yang kita suka—karena Ia tidak terpengaruh oleh nama. Apapun yang kita lakukan adalah atas nama-Nya. Atas nama-Nya pun harus diterjemahkan dengan bijaksana. Atas nama-Nya berarti atas nama kedamaian, kesejahteraan, kebahagiaan semua orang, semua makhluk—bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok kita sendiri.

Perhatikanlah posisi tempat suci yang dibuat oleh Tetua Bali, hampir semua berada di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk; ada yang terletak di atas bukit, di atas gunung, di atas tebing, di daerah pantai yang menjorok kedalam, ada pula yang berada di dalam gua. hal ini menunjukkan bahwa tanpa cinta yang tulus dari rumah seseorang tidak akan sampai di Pura. Inilah cinta tetua Bali yang susah didefinisikan dengan bahasa yang abstrak. Tetua Bali menginginkan cinta itu ada dalam aktualisasi. Dari anak-anak hingga kakek dan nenek tanpa beban dalam setiap langkah cintanya untuk mendaki menuju Pura—Tidak lupa pula kidung-kidung yang menyebut nama-Nya selalu mengiringi.

Jaga sikap kita, sikap dalam pengertian ini adalah cara kita berpikir, berkata dan bertingkah laku. Sikap ini biasanya akan dipengaruhi dari rasa cinta kita terhadap-Nya. Tetapi usaha untuk menjaga harus tetap dilakukan. Seperti yang sudah dijelaskan, pikiran sering berubah-rubah, sering cepat merasa bosan, sering cepat jenuh, sehingga dapat mempengaruhi kata-kata dan tingkah laku kita. Jika kita merasa bosan dengan disiplin ini, ingatlah bahwa kita akan menderita, kita akan selalu sengsara. Sengsaranya tidak mesti saat ini. Mungkin esok, lusa, seminggu, sebulan atau setahun atau dikehidupan yang akan datang—itu pasti terjadi. Dengan cara ini lebih mudah untuk cepat sadar, seperti Arjuna yang cepat-cepat sadar setelah kalah dari Dewa Shiva.

Selanjutnya sadar bahwa sesuatu yang tercipta akan hidup dan kemudian akan mati. Kita tidak oleh terikat dengan apa yang terlahir, karena sesaat kemudian akan hancur—yang perlu kita lakukan bahwa harus terikat dengan siapa yang mencipta, yang memelihara hidup dan yang menguasai kematian. Keterikatan kepada yang menguasai ketiganya itu berbeda dengan keterikatan dengan material. Keterikatan terhadap Tuhan adalah karena cinta, bukan karena menginginkan sesuatu dari-Nya. Bahkan keterikatan karena cinta bukanlah keterikatan lagi. Bisa jadi pada awalnya unsur keterikatan masih terasa, namun lambat laun rasa keterikatan itu lenyap dalam samudra kasih, samudra cinta. Yang tampak dan terasa hanya cinta, cinta dan hanya cinta.

Saat cinta ini sudah meresap dalam segala hal—maka pikiran pun mulai tenang dengan sendirinya, walaupun selalu diselimuti oleh gelombang. Saat air tenang hanya satu cahaya bulan yang tampak. Berapapun kita menyediakan air yang jernih dan tenang dalam tempayan yang berbeda-beda, hanya ada satu penampakan bulan dalam air itu. Penampakan bulan dalam setiap air yang berbeda-beda tempayan tidaklah berarti bulan yang sesungguhnya ada sebanyak itu. Bulan hanya satu, Dia-lah yang disebut sebagai Shiva-Atman. Dia-lah yang menghidupi seluruh alam semesta. Dia-lah yang berada pada setiap makhluk. Saat pencapaian inilah setiap manusia akan mendapat Pasupati.

Dan inilah yang disebut tumpek landep… USAHA dekat untuk memahami pengetahuan sejati itu… pengetahuan yang menguraikan hakekat HIDUP…. menyadari hakekat HIDUP, BUDHI pun menjadi berperan dalam memilah realitas kehidupan bagi pikiran. Sehingga PIKIRAN lebih tajam dalam memutuskan dengan tepat jalan kehidupan untuk mencapai keselarasan hidup. Rahayu…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar