Senin, 21 Desember 2015

Kepingan Hasrat Arjuna

KEPINGAN HASRAT ARJUNA DI MINTURAGA INDRAKILA


"Engkau mengendalikan seluruh alam semesta, Engkau adalah intisari Kebenaran yang tertinggi, Engkau sungguh bersifat rahasia, kasihMU menyusup dalam ada dan tiada, besar dan kecil serta benar dan salah atau baik dan buruk, Engkau adalah penyebab segala yang ada yang mengalami lahir hidup dan mati, Engkau adalah asal dan kembalinya seluruh jagat, Engkau sesungguhnya nyata dan tidak nyata…"

…lantunan pujian Arjuna kepada Bhatara Shiva memberikan pesan luhur—mengajak kita untuk menerima pengalaman seutuhnya. Suka tanpa duka tidaklah utuh. Panas tanpa dingin tidaklah utuh. Hitam tanpa putih juga tidak utuh. Penerimaan semacam ini mampu membebaskan rasa kesal kita, rasa kecewa kita. Karena suka tidak bisa eksis tanpa duka. Timbunan duka yang makin tinggi itulah kemudian runtuh dan menciptakan kelegaan atau suka. Kemudian jika suka menumpuk pun kita menjadi bosan, jenuh dan akhirnya duka.

Selasa, 08 Desember 2015

Menghormati Guru dari Agama Lain...

“Menghormati Guru dari Agama Lain”

“Vidya gurusvetadeva nitya vrttih svayonisu,
pratisedhatsu cadharman hitam copadisat svapi"
 [Manavadharmasastra, II.206]



 “Demikian juga hendaknya tingkah lakunya kepada guru-guru lain dibidang ilmu pengetahuan, [seorang sisya-pen]harus hormat kepada semua orang yang bisa memberikan nasehat yang baik”

[Sentuhlah kaki guru yang mengajarkan prinsip-prinsip Veda]
Pada dasarnya, semua guru dalam setiap agama yang ada di dunia ini menginginkan seluruh sisyanya hidup dalam kedamaian. Jika semua guru di setiap agama memiliki tujuan demikian, maka semua guru dalam agama yang berbeda-beda memiliki tujuan yang sama. Setidaknya, alasan inilah yang dapat dijadikan landasan setiap umat beragama untuk menghormati keberadaan guru dalam agama lain. Demikian pula patut menjadi perhatian bagi sisya-sisya Hindu. Di dalam pandangan pendidikan Hindu, Sisya-sisya Hindu tidak dibenarkan untuk tidak menghormati keberadaan guru lain selain guru-guru yang sering mengajarnya. 

Sabtu, 05 Desember 2015

Merajut Nusvantara

“MERAJUT NUSVANTARA”


Dahulu kala…. sebelum agama-agama datang ke Nusvantara, tetua kita sudah beradab... sudah bermoral... Nusvantara adem-adem saja.... air sungainya mengalir dengan tenang, ikan-ikan berenang dengan damai… gunung-gunung menjulang tinggi yang dihiasi rumput hijau, bunga-bunganya indah berwarna-warni…. burung-burung menari dengan girang… kidung-kidung suci dengan lantunan khas Nusvantara bergema dimana-mana... khas Java... Bali.. Sunda.. Bugis... Toraja.. Kaili... dan ratusan suku lainnya...tidak ada penjahat yang namanya mendunia, tidak ada Rahvana, tidak ada Duryudana, tidak ada Sakuni, tidak ada Yehudas, tidak ada Dewadatta, tidak ada kaum Jahillia... Itulah sebabnya Hyang Esa tidak mengirim secara khusus nama Avatara, Nabi, Maharsi, Lama, Penyair yang namanya besar seperti di negeri asal agama-agama yang masuk ke Nusvantara....

Sungguh tidak cerdas, jika agama-agama yang datang dari berbagai negeri itu membuat kita porak-poranda di dalam persaudaraan... sungguh miris, jika agama-agama yang datang dari berbagai negeri itu menjadikan kita memperkosa budaya luhur yang telah diwariskan tetua kita... leluhur kita... Kebanggaan Nusvantara dimata dunia adalah kebudayaan itu... agama yang ada di Nusvantara sekarang ada juga di seluruh dunia, tetapi kebudayaan khas Nusvantara tampil beda dari seluruh negara di dunia. Perhatikanlah negara-negara maju di belahan dunia ini... semua menghargai kebudayaannya.... bahkan ada negara yang miskin kebudayaan, sampai-sampai ingin ikut memiliki kebudayaan negara lain dengan cara yang tidak sopan...

kebudayaan yang kaya menjadikan Nusvantara menjadi UNIK dan MENARIK... TAMPIL BEDA... hal inilah sejatinya SPIRIT KEBANGSAAN KITA... CIRI KEBANGSAAN KITA... Seharusnya, saat ini kita tetap pada spirit dan ciri itu... walaupun agama yang datang ke-Nusvantara beragam dari berbagai belahan di dunia; datang dari negeri Bharata... dari Negeri Padang Pasir... negeri Sakura... Negeri Tirai Bambu... Negeri Gunug Bersalju… dan negeri-negeri lainnya... kebudayaan Nusvantara yang dianugerahkan oleh Hyang Esa melalui para Tetua jangan dilupakan!!!!!

Selasa, 01 Desember 2015

Pesan Sri Rama

"MENGINGAT PESAN SRI RAMA...."
(Cinta untuk Teluk Benoa: Pembangunan tanpa misi penyelamatan,
 tidak dapat ditoleransi!)




Dahulu kala...., Sri Rama berpikir keras untuk mencari jalan keluar agar bisa menyebrangi samudra menuju Alengka mencari Sita.... Ia pun meminta pertimbangan kepada Sugriwa, Hanoman dan juga Vibhisana... "apa yang harus kita perbuat sahabat-sahabat-Ku...?".

Awalnya, saya berpikir, "aneh.....!!!!!!".

Megingat Sri Rama adalah titisan Bhatara Visnu, Ia tidak perlu sampai berpikir begitu keras untuk menyeberang sampai ke Alengka.... Ia yang memiliki dan menguasai semesta ini....bahkan dalam Bhagavata Purana I.22 dijelaskan bahwa "...Rama adalah pengendali samudra...", apa yang tidak bisa Ia perbuat...!! apalagi hanya menyeberangi samudra kecil itu... sebagai sosok manusia, Beliau juga memiliki senjata-senjata sakti yang dapat mengeringkan lautan dengan seketika atau pun menghancurkan musuh dari jarak yang jauh, seperti senjata Brahmastra yang Ia miliki misalnya...!Ternyata tidak demikian rupanya.... Sri Rama sedang berpesan kala itu kepada seluruh makhluk, terutama pesan itu ditujukan kepada makhluk yang bernama MANUSIA-bagaimana cara MENGHORMATI LAUT....... lebih tepatnya,kepada kita yang terlahir saat ini.... 

1. Atas saran penguasa laut.... Sri Rama HANYA diberikan ijin untuk mengapungkan batu di atas permukaan laut sebagai jembatan... kala itu dibantu oleh ahli bangunan Vanara Nal dan Nil yang tiada lain putra Bhatara Visvakarma.... Artinya, Sri Rama tidak diberikan ijin untuk MEREKLAMASI lautan yang dapat merugikan unsur-unsur keseimbangan PANCA MAHABUTA...bahkan saat proses pengapungan batu di permukaan laut, Sri Rama pun melakukan pemujaan yang sangat hebat kepada Bhatara Shiva, sehingga tempat itu pun disebut Ramaisvara...... tempat penghormatan Sri Rama pada Bhatara Shiva...

2. Sri Rama melakukan pengapungan batu di permukaan laut untuk dijadikan jembatan menuju Alengka adalah dalam rangka misi penyelamatan simbolik sosok IBU ALAM SEMESTA yakni Ibu SIta... dari apa Ibu Sita diselamatkan...? Dari MATERIALISTIK....!!! Siapa dalam hal ini tokoh materialistik...? RAHWANA....!!!!. Rahwana adalah perenggut kehormatan, keselarasan, keseimbangan dan juga kedamaian Akasa dan Prtivi... Ibu dan Bapak Semesta... Rama dan Sita....

Sangat jelas... pembangunan yang tidak memiliki misi penyelamatan... tidak dapat ditoleransi.... Apalagi pembangunan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan materialistik segelintir atau sekelompok orang yang buas dan serakah seperti Rahwana... (TIDAKKAH KAU DENGAR RINTIHAN IBU SITA.....?)

Kamis, 05 November 2015

Sebun Bangkung

"SEBUN BANGKUNG"

Mengapa salah satu hasil karya sastra seorang guru besar seperti Dang Hyang Nirarta berkonotasi jorok dan kumal? Bagi orang awam, pertanyaan demikian sah-sah saja..!. Namun pernahkah kita berpikir bahwa, dibalik konotasi jorok dan kumal itu ada sebuah pesan yang maha agung...? Pernahkah kita berusaha untuk memahaminya...?. Bagi para maha rsi, bagi para avatara, nabi, masias, buddha, para sufi dan para kaum spiritualitas, hal semacam ini bukanlah hal yang baru atau asing untuk didengar atau diperbincangkan. Mengapa? Karena bahasan semacam ini telah menjadi menu makanan dalam keseharian menuju yang disebut Samadhi, Tauhid atau dalam kesadaran Advaita.

Sebun Bangkung memberikan interprestasi bahwa tidak ada yang sifatnya tidak berguna, tidak perlu dan semua berfungsi. Perhatikanlah, bukankah tempat sempah yang sering kita pandang sebelah mata dan sering kita jejali sampah adalah salah satu alasan yang menyebabkan halaman rumah dan badan kita menjadi bersih dan indah? Bukankah sampah yang kotor dan berbau busuk yang menjadi salah satu alasan mengapa tanaman kita menjadi berbunga dan berbuah? Bukankah dengan adanya lubang anus akhirnya kita bisa bernafas dengan lega setiap hari?. Para orang-orang suci kita pun demikian adanya, kehadiran Kamsa dan Kurava adalah penyebab Sri Krshna hadir dan pencerahannya dapat kita nikmati hingga hari ini, bukankah Sang Buddha hingga menemukan pencerahan akibat penderitaan-penderitaan yang ia temukan?. Dalam tataran ini, semua yang sering kita anggap jorok, hina, negatif adalah kesatuan yang tidak dapat kita pisahkan dalam rangkaian semesta raya. Semua saling dan sedang bersinergi.
Mari... manfaatkan dengan baik semua anugerah Tuhan....

Selasa, 23 Juni 2015

Upavasa

Hakekat Upavasa


Keberadaan puasa sesungguhnya adalah sebagai disiplin spiritual. Sebagai disiplin, puasa ini dilakukan hampir disetiap agama yang ada di dunia. Puasa di dalam Hindu disebut Upavasa. Upavasa adalah bagian dari tapa—pengendalian diri dari nafsu-nafsu duniawi dalam sebuah disiplin spiritual. Upavasa berasal dari kata “Upa” yang berarti “Dekat” dan “Vasa” yang berarti “Kuasa―Penguasaan”. Upavasa dalam pengertiannya adalah upaya untuk dekat dengan sifat-sifat ke-Tuhan-nan melalui penguasaan diri dari makanan. Oleh karenanya upavasa tidak seharusnya dikait-kaitkan dengan pahala dan dosa. Tidak upavasa—dosa. Melakukan upavasa—berpahala. Gaya berpikir itu hanyalah untuk anak-anak saja, agar mereka termotivasi untuk melakukan upavasa itu. Jika telah Devasa, upavasa harus dipahami sebagai upaya disiplin spiritual untuk keseimbangan jasmani dan rokhani. 


Rabu, 17 Juni 2015

"Guru Visesa"

    "Guru Visesa"


Guru Visesa selama ini diartikan sebagai bagian dari empat jenis guru yang patut dihormati oleh umat Hindu, terutama bagi para sisya dalam konsep ajaran Catur Guru. Dibalik itu, jujur saya sering terusik. Keterusikan saya, ketika saya mengingat Ibu dan Bapak guru saya di sekolah sering mengatakan bahwa, "Guru Visesa adalah bapak dan ibu pemerintah".

Melihat realitas bapak-bapak pemerintah seperti dewasa ini, korupsi, kolusi dan nepotisme sering menjadi selimut dalam setiap tayangannya. Belum lagi bapak-bapak pemerintah yang terjatuh dalam kawah Narkoba. Padahal seorang Guru dalam arti yang sesungguhnya, adalah ibarat para Dewa yang turun ke bumi_guru devo bhava. Oleh karenanya, Guru adalah ia yang menyelimuti dirinya dengan cahaya yang penuh kasih dan kebijaksanaan bagi kemanusiaan. Pertayaanya, relevankah predikat Guru Visesa bagi bapak dan ibu pemerintah dewasa ini....?

Kajeng Kliwon

Kajeng Kliwon: Sebuah Refleksi Kedalam Diri


Di zaman kerajaan Bali yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Udayana Warmadewa [abad 9 Masehi] pernah terjadi sebuah “keributan” yang berbau kepercayaan [Sekta]. Kala itu menurut catatan sejarah ada sembilan sekta yang berkembang di Bali.  Diantaranya Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara semua sekte yang ada, sekte Siwa Siddhanta yang paling dominan pemeluknya. Keributan ini pun akhirnya mengundang kehadiran seorang Mpu dari Jawa atas permintaan raja Udayana Warmadewa. Sang Mpu ini bergelar Mpu Kuturan. Kemudian atas prakarsa Sang Mpu, semua para pengikut dari ke sembilan sekte dipertemukan. Tentu dengan kharisma Sang Mpu Kuturan, mampu menghipnotis pertemuan itu menjadi sebuah awal peradaban baru yang segar bagi kehidupan beragama di Bali. Ke Sembilan sekte akhirnya dilebur, dikristalisasi menjadi satu—semacam lawar Bali, semua bumbu menjadi satu kesatuan untuk menciptakan rasa nikmat bagi lidah. Namun walaupun dilebur, harus tetap memiliki identitas; dengan penuh keiklasan sekte Siwa Siddhanta akhirnya menjadi rumah kebersamaan dari kedelapan sekte.

Mantra Upasana


Buku Mantra Upasana adalah buku yang di dalamnya terhimpun mantra-mantra Hindu yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat Hindu, baik dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua dalam kehidupan sehari-hari untuk memuja Sang Hyang Widhi. Buku Mantra Upasana adalah buku doa praktis (saku) paling lengkap dari buku-buku doa agama Hindu yang pernah ada. Di dalamnya juga diuraikan mengenai Japa. Japa adalah salah satu jenis yajna yang sangat agung di zaman kali. Diantaranya mengenai pengertian Japa, keagungan Japa, persiapan Japa, sarana ber-Japa, etika menggunakan Japamala/Genitri, mantra Japa dan manfaat Japa.

Pemesanan buku Mantra Upasana dapat berjumlah banyak maupun sedikit/eceran. Harga Rp. 16.000-per satu buku.

Bagi umat sedharma, yang berminat dengan buku Mantra Upasana-Himpunan Doa Hindu, dapat menghubungi, Hp. 085233222873. Lewat Facebook saya, Heri Dianandika. Lewat E-mail, dianandikah@gmail.com

Matur Suksma....

Semerbak Upakara


Semerbak Upakara Yajna di Zaman Industri:
Antara Eksistensi Alam dan Konsumtifisme



Hindu sebagai agama mayoritas di Bali tentu memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam berbagai hal, terutama dalam bidang agama itu sendiri, budaya dan adat istiadat serta sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu tidak salah jika Hindu dikatakan sebagai jiwa daripada segala aktifitas masyarakat Bali pada umumnya. Hindu yang hadir dan terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Bali sangat bersifat luwes. Luwes dalam arti sangat menghargai nilai-nilai tradisi yang baik dan benar serta sesuai dengan ajaran Veda dalam setiap segala sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali pada khususnya. Karena Veda sebagai kitab suci agama Hindu yang berasal dari sabda Tuhan tidaklah bersifat diskriminasi terhadap keragaman. Ajaran Veda sangat memahami bahwa untuk menyamakan wajah setiap orang yang berbeda adalah sebuah kebodohan. Keberagaman bagi Veda yang diimani oleh umat Hindu adalah sebuah keniscayaan dan juga anugerah yang mesti disyukuri.

Sukses Melalui Tapa

Sukses!!!
Melalui “Pertapaan” Pikiran



Terlepas dari berbagai makna yang diberikan setiap orang pada kata “sukses”, setiap orang tentu akan setuju bahwa kita semua ingin mencapai sebuah kesuksesan di dunia ini, ada yang menginginkan sukses dalam karirnya, pendidikannya, usahanya dan berbagai macam jenis kegiatan dunia hingga spiritualitas. Dari berbagai macam keinginan-keinginan kesuksesan itu, banyak orang yang melupakan landasan berpijak untuk meraih kesuksesan. Akibatnya banyak yang salah jalan—tersesat. Ujung-ujungnya bukan kesuksesan yang dihasilkan, namun derita berkepanjangan yang melanda. Seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri, terus berputar ditempat tanpa ada kepastian dan kejelasan apa yang kita cari pun tidak ketemu-ketemu. Penyakit setres, prustasi, struk ringan dan berat pun bisa jadi menhadiri dengan legowonya, akibatnya tidak hanya berdampak menjadi kemarahan kepada sahabat, saudara, cucu, anak, istri, orang tua, mbah lanang atau pun mbah wedok, bahkan Tuhan pun sering kena imbasnya. Tuhan sering terlihat tidak adil, tidak bijaksana, medit atau pelit alias tidak memurahkan rejeki dan lain sebagainya…..!!

Hindu sebagai agama yang bersifat universal, tentu ajaran-ajarannya yang bersumber dari Veda menyentuh segala sendi kehidupan manusia di bumi ini, termasuk hal-hal yang berbau duniawi semacam jalan menuju sukses. Veda sebagai sabda Tuhan tidak hanya membicarakan permasalahan adhiatmika dalam arti niskala atau yang tidak terlihat saja. Veda juga berbicara masalah guna vidya atau tentang ilmu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, walaupun pengetahuan adhiatmika tetap menjadi spiritnya. Permasalahannya, apakah kita berkehendak menggunakan jalan-jalan yang disediakan dalam Veda! Kemudian bagaimana komitmen kita dalam proses menjalankannya, karena setiap usaha untuk meraih kesuksesan membutuhkan kehendak dan komitmen itu.

Di dalam salah satu pustaka Veda, yakni Bhagavad Gita—Sri Krishna bersabda setidaknya ada tiga jenis pertapaan yang dapat dimaknai guna meraih kesuksesan. Pertapaan yang dimaksud bukanlah identik kita berada dalam sebuah hutan atau goa yang dipenuhi kelelawar, menggunakan kain putih atau kuning, tanpa alas kaki alias nyeker, badan kurus kering alias krempeng dan didampingi oleh binatang-binatang di hutan. Tidak demikian!!!. Pertapaan berasal dari kata “tapa”, tapa adalah pengekangan diri, tapi “pengekangan diri” berbeda dengan “dikekang”, “pengekangan diri” berangkat dari niat, dari tekad dan kehendak yang sungguh-sungguh dan bertanggungjawab serta berasal dari diri sendiri—tanpa paksaan dari pihak lain. Tapa dapat dilakukan dimana saja dan dalam rangka apa saja. Fungsi pertapaan dalam hidup ini adalah untuk menciptakan manusia yang dewasa, dewasa berarti berkarakter dewata. Selalu jernih dalam memaknai proses kehidupan. Tidak meneuruti segala keinginan indrya-indrya yang ada dalam diri. Singkatnya tapa akan melahirkan kemuliaan. Dalam bahasa sederhana tapa juga dapat diartikan pemahaman yang bijaksana dalam menjalani kehidupan. Ada tiga hal yang sekiranya harus dipahami dan dijadikan jalan untuk meraih kebahagiaan hidup atau kesuksesan yang berakhir mendamaikan.

Pertapaan Pikiran (Tapa Manasam)
Pertapaan yang pertama, di dalam Bhagavad Gita 17.16 disabdakan “kepuasan, kesederhanaan, sikap yang serius, mengendalikan diri dan menyucikan kehidupan adalah pertapaan pikiran”. Pikiran adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam kehidupan, peran pikiran harus dipahami dalam meraih kesuksesan, karena pikiran adalah sentral dalam segala ucapan dan tindakan kita—itulah sebabnya pikiran disebut sebagai rajaindrya atau raja dari segala indrya dalam diri manusia. Pertama pikiran harus dilatih dengan “Kepuasan (Prasadah)”. Seseorang harus belajar untuk selalu puas akan apa yang dihasilkan dalam setiap kerjanya. Berpikir puas juga bukanlah alasan untuk tidak kerja secara maksimal. Kepuasan yang dimaksud juga bukan berarti menyombongkan diri atas hasil pekerjaan kita. Kepuasan dalam tapa pikiran ini berarti pikiran harus dilatih bahwa segala upaya membutuhkan proses dan bersifat berkelanjutan. Sehingga segala hasil dari segala upaya maksimal kita dalam meraih kesuksesan itu harus dihargai dengan kepuasan atau rasa bangga. Melalui penghargaan terhadap setiap usaha dalam upaya kita, akan menyebabkan kita semakin bersemangat dihari-hari berikutnya. Banyak orang yang sering mengeluh dengan hasil yang tidak memuaskan dalam setiap kerja mereka, karena mereka tidak ada rasa puas dalam arti yang baik dalam dirinya. Untuk menghindari rasa keluhan seperti ini, berpikirlah bahwa segala pekerjaan yang kita lakukan adalah persembahan terbaik dari diri kita kepada Sang Hyang Widhi. Segala kekurangannya pun adalah milik-Nya. Kemudian dihari-hari berikutnya kita mesti mempelajari dari kekurangan dan kelebihan dihari-hari kemarin atau apa yang disebut dengan svatah yang berarti belajar dari pengalaman.

Kedua, Kesederhanaan (Saumyatvam)—pikiran juga harus dilatih dengan hidup sederhana. Hal ini tentu sangatlah realistis, untuk meraih kesuksesan seseorang harus memulai dengan berpikir hidup sederhana. Orang yang selalu menghabiskan hasil kerjanya yang seharusnya ia tabung dalam rangka menggapai kesuksesan akan menjadi mimpi belaka jika tanpa kesedarhanaan hidup. Karena sifat material selalu menggoda setiap orang dan sering membuatakan mata bhatin kita. Kesederhanaan hidup dalam tapa pikiran ini pun menuntut seseorang untuk mengatur atau memanajemen pemasukan dan pengeluaran yang didapat dari segala usaha kita dengan sebaik-baiknya. Gunakan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Karena banyak orang yang tidak mampu mencapai apa yang disebut kesuksesan dunia dan jatuh dalam kemiskinan diakibatkan oleh keinginan. Ada yang berucap “…saya ingin bahagia”, selama kita masih meletakkan kata “ingin” di tengah kata “saya” dan “bahagia” maka selama itu pula kebahagiaan tidak akan datang pada kita. Berarti semasih ada kata “ingin” kebahagiaan masih dalam ruang cita-cita saja. Tentu keinginan adalah sifat yang niscaya dalam diri, tapi ia harus dipahami sebagai bentuk sifat pelayanan atau bhakti bagi setiap bentuk apapun kegiatan kita.

Sifat keinginan tidak akan ada habis-habisnya. Keinginan ibarat api yang terus disiram minyak, ia akan terus semakin berkobar. Jika keinginan selalu dituruti, ia akan menjadi jurang penderitaan bagi diri kita sendiri. Para koruptor misalnya, mereka masuk dalam penjara diakibatkan tidak berkehendak melakukan tapa pikiran melalui kesederhanaan. Tidak puas dengan honor setiap bulannya, mereka pun mencari yang lebih dengan cara di luar jalan yang sattvika. Akhirnya, ketikbenaran tidak akan menang—penjara pun menjadi rumah mereka. Bahkan setelah kita mencapai apa yang kita cita-citakan dalam usaha atau kegiatan kita, kesederhanaan hidup pun harus tetap menjadi tali kekang di dalamnya. Kesederhanaan pun membuat kita tidak terikat dengan apa yang kita miliki. Kesederhanaan berdampak pada penyadaran akan material yang bersifat tidak langgeng. Kesederhanaan juga adalah bentuk kesiapan diri untuk meninggalkan material duniawi jika saatnya nanti telah menghinggapi kita.

Ketiga, Keseriusan (Maunam)—kemudian pikiran mesti dilatih dengan Keseriusan atau fokus dan disertai keyakinan yang penuh, jika pertapaan ini bisa dilakukan, jangankan materi di dunia ini para Dewa pun akan hadir dihadapan kita jika kita berkehendak dalam pemujaan kita. Artinya peran keseriusan atau fokus dalam setiap kerja kita sangat penting sekali. Perhatikanlah di antara Pandawa dan Kurawa, siapa yang paling disayangi oleh guru Drona, tiada lain adalah Arjuna. Arjuna selain ia sangat menguasai penggunaan panah, ia juga akhli dalam menguasai segala macam jenis persenjataan dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Alasannya, karena Arjuna adalah siswa guru Drona yang paling serius atau fokus dalam belajar. Saat-saat guru Drona memberikan waktu untuk bermain kepada siswa-siswanya, Arjuna tidak menggunakan waktu itu terbuang sia-sia. Arjuna menggunakan waktu bermainnya untuk melatih diri. Bahkan suatu malam ketika semua saudara-saudaranya tidur dengan lelap, Arjuna belajar memanah di malam hari. Itulah sebabnya saat perang Bharata terjadi, Arjuna sukses menghalau kelicikan pasukan Kurawa, ketika pasukan Kurawa menyerang pasukan Pandawa di malam hari. Pasukan Kurawa menduga bahwa Arjuna akan kalah jika bertarung di malam hari. Ternyata tidak, akibatnya pasukan Kurawa pun lari kucar-kacir di hutan belantara. Bahkan akibat keseriusan Arjuna, hanya Arjuna yang diberikan anugerah senjata sakti Brahmastra oleh guru Drona. Tidak ada cahaya di siang hari tanpa matahari, begitulah ibaratnya—tiada kesuksesan tanpa keseriusan.

Keempat, Pengendalian Pikiran (Vinigrahah)—maksud pikiran harus dikendalikan dalam meraih kesuksesan, hal yang paling penting dalam pengendalian ini adalah pengendalian pikiran terhadap hasil dari usaha kita. Itu berarti pikiran tidak dibenarkan terikat pada hasil kerja yang sedang kita lakukan. Kelemahan manusia di zaman kali adalah ketika ia mengikat dirinya dengan segala hal-hal duniawi. Tapa pikiran melalui pengendalian pikiran ini menjadi penting karena pikiran yang terikat akan menjadi semacam budak saja. Apapun yang terikat pasti tidak akan memiliki kebebasan. Ia akan diatur kesana dan kemari oleh material dalam wujud keinginan. Bahkan kesuksesan duniawi pun tidak boleh mengikat diri kita. Jika terikat pada hasil, seseorang dalam usaha duniawinya akan selalu resah setiap saat. Seperti para petani misalnya, sebelum ia menanam padi ia selalu berpikir “….berapa hasil panen saya nanti…., apakah saya akan untung atau saya akan rugi..”. “Bekerjalah… hasil tak perlu kau risaukan!!!” kata Sri Krishna. Terikat akan hasil hanya menambah kerisauan kita saja. Kita hanya bertugas untuk bekerja sebaik-baiknya. Berusaha menujukkan kemampuan untuk kualitas yang terbaik. Ketika waktu membajak sawah datang, tugas kita membajak dengan sebaik-baiknya, ketika waktu membersihkan rumput disela-sela padi datang, lakukan dengan baik.

Pertapaan pikiran melalui pengendalian pikiran terhadap hasil dalam usaha kita merupakan identitas kemanusiaan kita yang sesungguhnya. Manusia bukan binatang dalam arti yang sesungguhnya. Jika binatang diperintahkan melakukan sesuatu semacam sirkus, ia akan dihadiahi hasil berupa makanan. Artinya setiap usaha yang dilakukan binatang sirkus diyakini olehnya akan menadapat hasil makanan atau untung. Berbeda dengan manusia, manusia tahu bahwa setiap usaha yang ia lakukan tidak selamanya untung dan rugi. Bisa saja untung dan bisa saja rugi. Kesadaran kerja tanpa terikat akan hasil adalah tapa pikiran yang sangat membangun kekuatan mental seseorang dalam semangat kerjanya. Seseorang yang tidak terikat akan hasil atau sadar bahwa tugasnya adalah bekerja sebaik-baiknya akan selalu terjaga dalam gelombang untung dan rugi. Saat ia mendapat untung, ia akan bersyukur dan ketika ia rugi ia pun berusaha kembali dengan semangat yang sama. Tidak ada kegelisahan disaat-saat seperti itu, apalagi sampai menambah daftar unit gawat darurat di rumah sakit akibat penyakit darah tinggi kambuh dikarenakan tegang, yang tidak siap menerima gelombang untung dan rugi. Jika semua jenis tapa pikiran ini dapat dilakukan oleh kita, kesemuanya inilah kelak yang akan dapat tetap menyucikan hidup (Samsuddhih) di dunia dalam setiap usaha-usaha untuk meraih sukses. Hidup yang suci adalah hidup yang diliputi oleh kebijaksanaan dalam segala hal.




Selasa, 16 Juni 2015

Putih Kuning


Spirit Warna Putih Kuning

“Berkibarnya Bendera Kemerdekaan”

Dewasa ini jika diperhatikan dengan cermat, banyak sudah diantara kita sebagai umat Hindu di Bali melihat sarana ritual dengan pengertian yang biasa-biasa saja. Terutama para remaja Hindu yang datang ke sebuah tempat suci dalam melakukan ritual, kecenderungannya hanya merasa membutuhkan pada bagian sembahyang sebagai kewajiban saja—tidak lebih. Selain tidak ada dorongan dari dalam diri untuk mengetahui makna dari begitu banyaknya sarana ritual, peluang dan ruang untuk bertanya lebih sering dikorbankan kepada penampilan barang-barang elektronik. Padahal kita mengetahui bahwa semua sarana upacara dalam Hindu mengandung makna filosofis yang sarat dengan unsur dan tujuan pendidikan. Tetua Bali dahulu telah menyediakan begitu banyaknya  hari suci Hindu, dengan begitu banyaknya sarana upacara bukanlah semata-mata berniat untuk membebani anak dan cucu-cucunya di masa depan. Sungguh tidak demikian!!!. Ada banyak pesan-pesan suci di dalamnya. Ada banyak taburan mantra-mantra Veda dalam semua simbol-simbol ritual Hindu—guna menjalani kehidupan di dunia sekala maupun niskala dengan baik. Harapannya adalah, melalui pesan-pesan suci itu manusia Hindu menjadi kaya dengan nilai-nilai moralitas yang baik dan terjaganya sumber daya manusia yang unggul. 

Selasa, 09 Juni 2015

"Pasupati"

   Menyelami Kidung Arjuna 

   Saat Menerima"Pasupati"
 

…. Arjuna dan Dewa Shiva yang sedang menyamar menjadi seorang pemburu, masing-masing masih kuat dengan pendirian, bahwa anak panah yang menancap pada babi itu milik mereka. Perkelahian pun harus terjadi—tidak dapat dihindari. Arjuna sebagai perwakilan manusia memberikan pesan, pengaruh harapan terhadap hasil menyebabkan seseorang menjadi bingung dan mudah tersulut emosinya—mudah diadu domba, ia melupakan moralitas atau sopan santun. Dewa Shiva-pun harus menyadarkan Arjuna akan pamrihnya itu. Arjuna tidak akan menerima senjata Pasupati jika egonya masih tinggi. Karena senjata Pasupati tidak akan diterima jika hati seseorang masih dikeruhkan dengan keangkuhan dan tanpa pengendalian diri.